Posting kali ini agak sedikit "narsis"... tapi yang Vy suka adalah momen nya. But Sometimes i have to publicate my self, right? Gak tau, akhir-akhir ini Vy lebih suka mengedit foto dengan themes "oldies" like sephia tone dengan sharpen tinggi... I really like the tone...
For the broken heart this is a sweet lullaby..For all the weary souls please do not cry..
This lullaby is for those who can not seem to keep a piece of mind..
Trying to explain emotions And words I can not seem to find..
Monday, April 28, 2008
Nice Weekend
Akhir Pekan Sabtu – Minggu.
12 - 13April 2008
Selepas subuh –Sabtu- seperti biasa aku asyik menikmati "Black Coffea" hangat di teras rumah panggung Nenek Dato –rutinitas yang selalu kulakukan di tiap akhir pekan jika menetap di sini dan tidak ke kota Makassar-. Duri-duri dari dingin pagi itu menusuk hingga ke tulang, menggigit -selalu seperti itu di tiap musim pancaroba, dinginnya luar biasa kata Nenek Dato-. Tapi pemandangan aktifitas pagi hari di pelosok desa -Jeneponto- ini terlalu menarik untuk dilewati. Apalagi pada hari pasar seperti ini dan musim panen Jagung dan Padi. Aktifitas masyarakat yang akan pergi ke pasar atau untuk pergi ke ladang dan sawah di pagi buta ini.
Bulu kudukku tiba-tiba merinding –bukan karena dingin tadi- tapi karena pemandangan yang tiba-tiba tersaji di hadapanku. Satu keluarga petani –lengkap- dengan peralatan bertani dan rantang makanan yang tampak usang –yang di dalamnya terdapat bekal makanan-. Sang ayah memimpin ekspedisi sambil menuntun 2 kuda di belakangnya, Ibu menggendong anak paling bungsu –perkiraanku sekitar 4 tahun-, dan dua kakak si bungsu di belakangnya, keduanya mendapat tugas membawa rantang usang itu dan ember besar berisi air minum. Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka tentang pengalaman sang Ayah kemudian diikuti tawa anggota keluarganya. MESRA sekali. Sekali lagi aku merinding, senyum lebarku tak tahan untuk terus di kulum dan perasaan iriku tak terbendung... Ehmmm... Lagi, aku mendapatkan momen indah.
Nenek Dato datang dan duduk tepat disampingku dengan segelas teh ditangannya. Pembicaraan dalam bahasa “Mangkasara” pun terjadi –lagi, kebisaanku bahasa Mangkasara di latih he2-. Nenek dato berbicara panjang lebar tentang adat istiadat dan akhirnya tentang berapa luas sawah yang Nenek Dato miliki. Diterangkan begitu jelas dimana lokasinya kepadaku, humph... entah untuk apa, tapi sedikit membantuku mengurangi kebutaanku soal lokasi-lokasi kampung di pelosok Jeneponto ini.
Ajakan menarik datang dari Nenek Dato. Karena padi Nenek Dato juga telah memasuki masa panennya, aku diajak untuk jalan-jalan ke sawah dan melihat proses panen itu. Tawaran yang sangat sayang untuk dilewati. Aku sudah sering melihatnya di televisi atau di buku-buku cerita anak-anak tentang “memanen padi” tapi untuk melihat langsung dan mencoba sama sekali pemgalaman baru. Kata Nenek Dato aku "WAJIB" memakai baju lengan panjang, kaus kaki, penutup mulut agar nanti tidak di serang gatal-gatal karena terkena gabah padi atau digigit binatang-binatang kecil yang gatal.
Tak butuh waktu lama untuk bersiap-siap diri, juga tak butuh mandi pagi dulu sebelum pergi ke sawah, toh akan kotor juga setelahnya... Sepanjang perjalanan menuju sawah Nenek Dato, aku melewati banyak sawah yang juga telah tiba masa panennya. Aku bertemu dengan keluarga –lengkap- tadi sedang mengerjakan salah satu sawah Nenek Dato. Mereka adalah keluarga yang dipercayakan untuk mengurus sawah Nenek Dato dengan sistem bagi hasil. Banyak juga keluarga lain yang mengerjakan sawah di sebelah Nenek Dato, rata-rata mereka adalah keluarga yang tinggal sekampung denganku jadi tawaran untuk singgah dan menyantap makan siang di sawah dengan lauk dan sayur "fresh" di masak di sawah sahut menyahut... Ehmmm gawat juga, kalau tawaran semuanya diladeni badan ku yang sebelumnya sudah "bengkak" tampaknya akan menjadi tambah "bengkak" he2... Dengan sopan -seperti ajaran Nenek Dato- aku selalu berkata "Terimakasih Karaeng" -kata penolakan yang paling sopan-.
Sesampai di sawah, bekal "sabit" yang diberikan Nenek Dato langsung aku gunakan untuk belajar mengait padi -dengan arahan sepupu- yang menguning. Tidak susah, tapi harus tetap hati-hati jangan sampai sabit yang tajam itu sampai mengenai tangan, bisa terputus katanya. Sekali dan dua kali masih terlalu kaku tapi setelahnya semuanya jadi lancar.... Beres! Nenek Dato yang sedang mengamati duduk di bawah pohon asam tertawa terbahak-bahak melihat kekakuanku. Nenek Dato di usianya sudah tidak mungkin untuk terjun langsung memanen padi, jadi menyerahkan segala urusan persawahan kepada orang yang telah dipercaya.
Waktu yang biasa di habiskan untuk memanen padi di satu sawah adalah dua hari. Hari pertama digunakan untuk mengait batang-batang padi, dan hari kedua untuk memisahkan butir-butir padi (gabah) dari tangkainya. Dua hari juga aku ikut dengan Nenek Dato ke sawahnya. Humphhh... ku hitung hanya sekitar 8 jam dalam 2 hari yang kuhabiskan untuk sekedar belajar semuanya, tapi rasanya ingin remuk saja semua badanku. Bisa kubayangkan mereka yang menghabiskan 10 jam sehari dalam seminggu atau satu bulan... Menurutku itulah hidup, terus berjuang untuk sesuatu yang lebih baik.
Lagi, selalu ada momen-momen indah untuk ku “CAPTURE”. Indah, entahlah apakah indah juga dari sisi “FOTOGRAFI”.
Pict 1. Pict 2.Pict 3.12 - 13April 2008
Selepas subuh –Sabtu- seperti biasa aku asyik menikmati "Black Coffea" hangat di teras rumah panggung Nenek Dato –rutinitas yang selalu kulakukan di tiap akhir pekan jika menetap di sini dan tidak ke kota Makassar-. Duri-duri dari dingin pagi itu menusuk hingga ke tulang, menggigit -selalu seperti itu di tiap musim pancaroba, dinginnya luar biasa kata Nenek Dato-. Tapi pemandangan aktifitas pagi hari di pelosok desa -Jeneponto- ini terlalu menarik untuk dilewati. Apalagi pada hari pasar seperti ini dan musim panen Jagung dan Padi. Aktifitas masyarakat yang akan pergi ke pasar atau untuk pergi ke ladang dan sawah di pagi buta ini.
Bulu kudukku tiba-tiba merinding –bukan karena dingin tadi- tapi karena pemandangan yang tiba-tiba tersaji di hadapanku. Satu keluarga petani –lengkap- dengan peralatan bertani dan rantang makanan yang tampak usang –yang di dalamnya terdapat bekal makanan-. Sang ayah memimpin ekspedisi sambil menuntun 2 kuda di belakangnya, Ibu menggendong anak paling bungsu –perkiraanku sekitar 4 tahun-, dan dua kakak si bungsu di belakangnya, keduanya mendapat tugas membawa rantang usang itu dan ember besar berisi air minum. Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka tentang pengalaman sang Ayah kemudian diikuti tawa anggota keluarganya. MESRA sekali. Sekali lagi aku merinding, senyum lebarku tak tahan untuk terus di kulum dan perasaan iriku tak terbendung... Ehmmm... Lagi, aku mendapatkan momen indah.
Nenek Dato datang dan duduk tepat disampingku dengan segelas teh ditangannya. Pembicaraan dalam bahasa “Mangkasara” pun terjadi –lagi, kebisaanku bahasa Mangkasara di latih he2-. Nenek dato berbicara panjang lebar tentang adat istiadat dan akhirnya tentang berapa luas sawah yang Nenek Dato miliki. Diterangkan begitu jelas dimana lokasinya kepadaku, humph... entah untuk apa, tapi sedikit membantuku mengurangi kebutaanku soal lokasi-lokasi kampung di pelosok Jeneponto ini.
Ajakan menarik datang dari Nenek Dato. Karena padi Nenek Dato juga telah memasuki masa panennya, aku diajak untuk jalan-jalan ke sawah dan melihat proses panen itu. Tawaran yang sangat sayang untuk dilewati. Aku sudah sering melihatnya di televisi atau di buku-buku cerita anak-anak tentang “memanen padi” tapi untuk melihat langsung dan mencoba sama sekali pemgalaman baru. Kata Nenek Dato aku "WAJIB" memakai baju lengan panjang, kaus kaki, penutup mulut agar nanti tidak di serang gatal-gatal karena terkena gabah padi atau digigit binatang-binatang kecil yang gatal.
Tak butuh waktu lama untuk bersiap-siap diri, juga tak butuh mandi pagi dulu sebelum pergi ke sawah, toh akan kotor juga setelahnya... Sepanjang perjalanan menuju sawah Nenek Dato, aku melewati banyak sawah yang juga telah tiba masa panennya. Aku bertemu dengan keluarga –lengkap- tadi sedang mengerjakan salah satu sawah Nenek Dato. Mereka adalah keluarga yang dipercayakan untuk mengurus sawah Nenek Dato dengan sistem bagi hasil. Banyak juga keluarga lain yang mengerjakan sawah di sebelah Nenek Dato, rata-rata mereka adalah keluarga yang tinggal sekampung denganku jadi tawaran untuk singgah dan menyantap makan siang di sawah dengan lauk dan sayur "fresh" di masak di sawah sahut menyahut... Ehmmm gawat juga, kalau tawaran semuanya diladeni badan ku yang sebelumnya sudah "bengkak" tampaknya akan menjadi tambah "bengkak" he2... Dengan sopan -seperti ajaran Nenek Dato- aku selalu berkata "Terimakasih Karaeng" -kata penolakan yang paling sopan-.
Sesampai di sawah, bekal "sabit" yang diberikan Nenek Dato langsung aku gunakan untuk belajar mengait padi -dengan arahan sepupu- yang menguning. Tidak susah, tapi harus tetap hati-hati jangan sampai sabit yang tajam itu sampai mengenai tangan, bisa terputus katanya. Sekali dan dua kali masih terlalu kaku tapi setelahnya semuanya jadi lancar.... Beres! Nenek Dato yang sedang mengamati duduk di bawah pohon asam tertawa terbahak-bahak melihat kekakuanku. Nenek Dato di usianya sudah tidak mungkin untuk terjun langsung memanen padi, jadi menyerahkan segala urusan persawahan kepada orang yang telah dipercaya.
Waktu yang biasa di habiskan untuk memanen padi di satu sawah adalah dua hari. Hari pertama digunakan untuk mengait batang-batang padi, dan hari kedua untuk memisahkan butir-butir padi (gabah) dari tangkainya. Dua hari juga aku ikut dengan Nenek Dato ke sawahnya. Humphhh... ku hitung hanya sekitar 8 jam dalam 2 hari yang kuhabiskan untuk sekedar belajar semuanya, tapi rasanya ingin remuk saja semua badanku. Bisa kubayangkan mereka yang menghabiskan 10 jam sehari dalam seminggu atau satu bulan... Menurutku itulah hidup, terus berjuang untuk sesuatu yang lebih baik.
Lagi, selalu ada momen-momen indah untuk ku “CAPTURE”. Indah, entahlah apakah indah juga dari sisi “FOTOGRAFI”.
Sunday, April 06, 2008
Di Ladang Jagung...
Kamis, 27 Maret 2008...
Hari ini tak ada niat untuk ke kantor. Ehmm sudah di niatkan sih dari hari sebelumnya, karena ada tawaran menarik dari tante untuk jalan-jalan ke ladang jagungnya karena sudah tiba masa panennya. Kesempatan baik untuk memvariasikan rutinas -perjalanan 30 km pulang pergi rumah dan kantor- . Alasan lainnya yaitu aku ingin sekali mendapatkan pemandangan pegunungan dengan hijau terhampar sekaligus "hunting foto", rasanya lama sekali tidak menjalankan hobi satu ku ini. Sekarang, rasanya tak ada yang indah dari hasil "jepretanku", HERAN! Apa karena sudah terlalu lama tidak melakukan aktifitas ini.
Pagi sekali, tepat setelah selesai melakukan sholat Subuh segala persiapan telah dilakukan tante untuk menuju ke ladang. Semua yang menyangkut perut harus utama bukan? he2. Aku, menyiapkan teh hangat untuk kubawa, dua bungkus kopi instant, buku bacaan, dan kamera pocket ku.. Lengkap! Setelahnya tinggal menyiapkan tenaga menuju ladang yang di atas bukit kurang lebih 6 km.
Pengalaman menarik buatku, belajar memanen jagung. Berjalan di tengah-tengah pohon jagung mengambil tongkol jagung ditengah rerumputan yang tingginya melebihi manusia bukan hal yang gampang. Resikonya, ya bertemu dengan makhluk-makhluk aneh, gatal-gatal diseluruh badan karena bulu-bulu halus jagung kuning, dan hitam karena begitu panasnya matahari menyengat kulit. Menyenangkan sekali untuk aku, yang ini adalah pengalaman pertama. Pelajaran selanjutnya adalah mengupas kulit jagung dan memipil bijinya. Mudah memang, tapi hasil yang di dapat setelahnya adalah pegal luar biasa di jari-jari tangan dan itu terjadi padaku. Jaminan 48 jam, sakitnya tak hilang. He2.
Aku sering sekali mendengar cerita dari Ummi, Abah atau dari sepupu-sepupu ku kalau menikmati makan siang di ladang atau sawah adalah hal yang luar biasa nikmatnya. Apapun lauknya semua terasa nikmat. Itu yang aku buktikan di perjalananku ini. Hasilnya, ehmm memang nikmat luar biasa, walaupun hanya dengan lauk ikan bandeng kuah santan dan ikan goreng serta sayung kacang hijau dicampur daun kelor segar yang langsung diambil dari ladang. Benar, jauh melewati nikmatnya makanan mahal. Ditambah dengan suasana pedesaan, pemandangan hijau ladang dan persawahan dan duduk di bale-bale, tepat di tengah ladang jagung. Ahhhhh suangguh luar biasa.
Pict 1:Pict 2:Pict 3:
Pict 4:Pict 5:
Pict 6:Waktu tak terasa terus berjalan, dihabiskan di tengah ladang jagung. Berkumpul bersama sepupu, tante dan om dan candaan menarik. Hampir magrib, aku dan yang lainnya meninggalkan ladang jagung itu. Kembali ke rutinitasku...
Hari ini tak ada niat untuk ke kantor. Ehmm sudah di niatkan sih dari hari sebelumnya, karena ada tawaran menarik dari tante untuk jalan-jalan ke ladang jagungnya karena sudah tiba masa panennya. Kesempatan baik untuk memvariasikan rutinas -perjalanan 30 km pulang pergi rumah dan kantor- . Alasan lainnya yaitu aku ingin sekali mendapatkan pemandangan pegunungan dengan hijau terhampar sekaligus "hunting foto", rasanya lama sekali tidak menjalankan hobi satu ku ini. Sekarang, rasanya tak ada yang indah dari hasil "jepretanku", HERAN! Apa karena sudah terlalu lama tidak melakukan aktifitas ini.
Pagi sekali, tepat setelah selesai melakukan sholat Subuh segala persiapan telah dilakukan tante untuk menuju ke ladang. Semua yang menyangkut perut harus utama bukan? he2. Aku, menyiapkan teh hangat untuk kubawa, dua bungkus kopi instant, buku bacaan, dan kamera pocket ku.. Lengkap! Setelahnya tinggal menyiapkan tenaga menuju ladang yang di atas bukit kurang lebih 6 km.
Pengalaman menarik buatku, belajar memanen jagung. Berjalan di tengah-tengah pohon jagung mengambil tongkol jagung ditengah rerumputan yang tingginya melebihi manusia bukan hal yang gampang. Resikonya, ya bertemu dengan makhluk-makhluk aneh, gatal-gatal diseluruh badan karena bulu-bulu halus jagung kuning, dan hitam karena begitu panasnya matahari menyengat kulit. Menyenangkan sekali untuk aku, yang ini adalah pengalaman pertama. Pelajaran selanjutnya adalah mengupas kulit jagung dan memipil bijinya. Mudah memang, tapi hasil yang di dapat setelahnya adalah pegal luar biasa di jari-jari tangan dan itu terjadi padaku. Jaminan 48 jam, sakitnya tak hilang. He2.
Aku sering sekali mendengar cerita dari Ummi, Abah atau dari sepupu-sepupu ku kalau menikmati makan siang di ladang atau sawah adalah hal yang luar biasa nikmatnya. Apapun lauknya semua terasa nikmat. Itu yang aku buktikan di perjalananku ini. Hasilnya, ehmm memang nikmat luar biasa, walaupun hanya dengan lauk ikan bandeng kuah santan dan ikan goreng serta sayung kacang hijau dicampur daun kelor segar yang langsung diambil dari ladang. Benar, jauh melewati nikmatnya makanan mahal. Ditambah dengan suasana pedesaan, pemandangan hijau ladang dan persawahan dan duduk di bale-bale, tepat di tengah ladang jagung. Ahhhhh suangguh luar biasa.
Pict 1:Pict 2:Pict 3:
Pict 4:Pict 5:
Pict 6:Waktu tak terasa terus berjalan, dihabiskan di tengah ladang jagung. Berkumpul bersama sepupu, tante dan om dan candaan menarik. Hampir magrib, aku dan yang lainnya meninggalkan ladang jagung itu. Kembali ke rutinitasku...
Saturday, April 05, 2008
Melepas Kangen...
Sebulan lebih tidak mengupdate blog ini... Kangen sekali rasanya... Kesibukan luar biasa (sibuk??!!) he2 sedikit sibuk kok, akhirnya tidak bisa lebih sering ke Makassar dan mendapatkan akses internet. Alhamdulillah semuanya berjalan baik di tiap-tiap harinya, juga berkembang dengan baik walaupun ada sedikit hambatan, tapi kan bukan hidup kalau di beberapa kali waktu per tapakan kaki hidup itu tak ada cela... Yang membuat aku semakin kuat menghadapi hidup...
Hampir 70 hari keberadaanku di pelosok desa ini, proses adaptasi menjadi salah satu bahan renunganku tiap tengah malam ketika mata akan terlelap. Apa yang telah aku lakukan hari ini, bagaimana sosialisasiku hari ini dengan orang-orang yang aku temui, apakah gaya bicaraku tidak dianggap "kurangajar", apakah tatapan mataku tidak dianggap terlalu meremehkan... Humph... Terlau banyak rasanya hal-hal... Juga sama halnya ketika aku di makassar, tapi disini semua menjadi EKSTRA. Semuanya harus dipikirkan dengan EKSTRA.
Sejak 7 tahun lalu -ketika aku meninggalkan tanah kelahiran tercinta dan hidup menetap di Makassar- "Nenek Dato" banyak bercerita tentang adat istiadat Makassar -terutama Jeneponto-. Tentang bagaimana harus bersikap ketika bersosialisasi dengan orang-orang Jeneponto -tempat kelahiran Ummi dan Abah-. Terutama ketika memanggil nama mereka apakah harus didahului dengan kata DAENG atau KARAENG. Humphhh... Hal yang sampai hari ini masih sulit untuk ku kerjakan, buat aku yang jarang "pulang kampung" dan menghabiskan 8 tahun "bergaul" di makassar dan lebih banyak menggunakan kata umum IBU atau BAPAK bukan DAENG atau KARAENG. Dan banyak lagi hal-hal yang saat ini harus betul-betul kupelajari dan kupraktekkan baik-baik, jika tidak ingin menjadi bahan pembicaraan di kampungku -pelosok desa di Jeneponto- atau bahkan menjadi pembicaraan lintas kampung he2..
Sampai saat ini, dalam proses belajarku menghadapi budaya, adat istiadat dan aturan hidup di pelosok desa Jeneponto, aku telah menemukan irama yang mulai asyik kujalani. Hariku semakin teratur untuk kujalani, dengan warna-warna menarik... Pagiku dimulai sangat pagi disini -jauh berbeda ketika di Makassar dulu- adzan mesjid yang berada tak jauh dari rumah panggung Nenek Dato menjadi alarm tanda bahwa aktifitasku mulai dikerjakan. Bangun pagi, kalau sempat dan tidak diserang oleh udara dingin yang menggigit tulang, aku berjalan ke masjid melakukan shalat Subuh. Setelahnya adalah bersiap-siap menuju kantor. Jam 7 tepat aku harus menunggu ojek ketempat perhentian angkutan umum.
Salah satu hal yang kusyukuri ketika harus menaiki ojek atau angkutan umum. Banyak mengenal orang baru setiap harinya, belajar bersosialisasi dengan bahasa daerah "MANGKASARA" -hal yang masih begitu ganjal bagiku-. Oh ya juga yang menjadi favoritku yaitu jika aku selalu bisa mendapatkan hal-hal menarik di sepanjang perjalananku untuk di "CAPTURE" menjadi hasil dari "HOBI FOTOGRAFI". Pernah suatu kali, siang hari, bayangkan saja siang hari di tengah pelosok desa Jeneponto yang luar biasa terkenal "PANASnya". Rasa panasnya menembus ke ubun-ubun kepalaku hingga menimbulkan sakit yang luar biasa -tak terhankan- hingga obrolan asyik sang tukang ojek tentang silsilah turunan Bangsawan di Jeneponto menjadi sangat membosankan untukku... Ketika kepalaku seperti ditusukkan oleh duri-duri kaktus, aku melihat keramaian di depanku. Tukang ojek memberhentikan motornya..
"Ngapa i karaeng?" (Ada apa Pak?)
Tanyaku kepada tukang ojek itu.
"Nia tau molong bembe Karaeng. Tau ni hakika kapang."
(Ada orang potong kambing. Orang acara aqiqah mungkin)
Jawabnya, sambil mendongakkan kepalanya untuk melihat lebih jelas.
"Naung a rong paleng di', ero' ka acciniki."
(Saya turun dulu kalau begitu, saya mau lihat)
Secepatnya kukeluarkan kamera dari dalam tasku. Menarik buatku.
Pict 1:Pict 2:Hidup... Hanya perlu dinikmati. Hal yang sekarang begitu kunikmati. Bahkan sangat kunikmati.
Subscribe to:
Posts (Atom)