Monday, January 15, 2007

Gadis Thailand dan Pelacuran

Ruby Kholifah

Mister, what do you want?” begitulah kira-kira seorang puying (gadis) di bawah 18 tahun dengan bahasa Inggris pas pasan menyapa dua turis asing yang melintas di depannya di satu senja. Wajahnya lugu ndeso, berpakaian rapi agak dipaksakan modern; celana jeans dan T-shirt ketat yang hampir menutup pusarnya, berdiri kira-kira dua meter dari tempat kami nongkrong.

Mengapa gadis lugu di bawah umur tersebut terlibat dalam bisnis seks? Yang pasti kata Pataya dan puying adalah dua kata yang interconnectedness dan sangat dekat hubungannya dengan kemiskinan di Thailand. Tak hanya Pattaya sebenarnya yang menjadi tempat berlangsungnya bisnis seks. Masih ada daerah Patpong yang letaknya di downtown-nya Bangkok. Patpong disebut-sebut sebagai bisnis seks dengan omzet terbesar se Asia Tenggara. Sementara Pattaya adalah daerah otonomi khusus di sebelah utara Daerah yang terletak di sebelah utara Bangkok ini konon merupakan lokalisasi tertua.

Meningkatnya migrasi perempuan ke kota, khususnya pada industri seks dapat dikaitkan dengan ekspektasi kultur dan struktur ekonomi yang berkembang di negeri gajah ini. Di kultur masyarakat Thai, nilai tertinggi menjadi perempuan terletak pada jenis pekerjaan dan seberapa besar uang yang disumbangkan untuk keluarga dan saudara-saudaranya. Banyak studi melaporkan bahwa anak perempuanlah yang nyata-nyata banyak memberikan bantuan pada orang tua mereka. Sementara anak laki-laki cukup dengan kesediaannya menjalani hidup sebagai monk (biksu) minimal satu kali dalam kehidupannya sudah bisa membanggakan orang tua.

Dalam ajaran Budha, ketika anak laki-laki mengenakan baju kuning biksu dan orang tuanya menyentuhnya, maka kelak ketika mereka meninggal maka arwahnya akan pergi ke arwana. Ow, teman perempuan Thai saya menuturkan bahwa walaupun anak laki-laki tidak bekerja, asalkan mau menjalani hidup sebagai biksu, sehari saja, sudah disanjung keluarga. Berbeda dengan anak perempuan yang berapapun kebaikan yang dibuatnya, taruhlah mengirimkan semua jerih payahnya untuk kemakmuran keluarga, tetap derajatnya tidak lebih baik dari anak laki-laki.

Nilai-nilai patriarki sangat kental mengkonstruksi makna “menjadi perempuan Thai”, dimana lingkup kehidupan mereka hanya rumah dan desanya, wajib menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, dan sesudahnya dituntut untuk monogami. Sebaliknya menjadi laki-laki di masyarakat Thai adalah anugerah. Mereka senantiasa mendapatkan kesempatan dan malah didorong untuk bersosialisasi dengan kehidupan sosial di luar keluarga dan dimaklumkan dengan permisivitas seks. Ketika kewajiban-kewajiban sebagai perempuan Thai diterjemahkan dalam bahasa praktis yaitu membantu keluarga atau mensupport pendidikan saudara-saudaranya, bersamaan itu permintaan pekerja perempuan di kota semakin meningkat, dibarengi lunturnya nilai-nilai tradisional sebagai perempuan karena ketergantungan keluarga secara materi pada anak perempuan semakin meningkat, membuat pilihan migrasi tanpa proteksi dari anggota keluarganya dan dukungan orang tua menjadi tak terelakkan. Apalagi didukung terbatasnya lapangan pekerjaan bagi perempuan di desa-desa, serta rendahnya pendidikan yang mustahil mendatangkan pendapatan tinggi. Kondisi inilah yang membuat para perempuan mempersepsikan bahwa menjadi pekerja seks adalah pilihan satu-satunya yang bisa menghasilkan big money.

Jatuhnya pilihan perempuan pada industri seks secara historis ada kaitannya dengan tradisi dan situasi ekonomi politik internasional di Thailand. Dulu pada zaman pre komunis Cina, keberadaan rumah border diterima masyarakat sebagai bagian dari kehidupan sosial. Bahkan sampai sekarang para istri lebih merelakan suaminya “jajan” di luar ketimbang mempunyai istri simpanan. Karena hubungan dengan pekerja seks ádalah murni hubungan jual beli. Berbeda dengan mempunyai istri simpanan, yang akan melibatkan emosi, cinta dan hak waris. Pada tahun 1932 sampai berakhirnya perang dunia kedua 1945, Jepang berhasil menaklukkan Cina. Selama periode itulah perempuan-perempuan dipaksa untuk melayani seks tentara Jepang dan kebanyakan comfort women didatangkan dari Asia, salah satunya Thailand. Tahun 1967, Thailand sepakat menyediakan diri sebagai R&R (Rest and Recreation) spot bagi tentara Amerika selama perang Vietnam. Pada saat itulah booming prostitusi. Sekitar 400,000 perempuan terlibat bisnis seks yang kemudian ditelantarkan setelah perang usai dan akhirnya diambil alih oleh sektor wisata.


Dari sinilah kemudian prostitusi di Thailand menjadi bisnis berskala internasional dibawah naungan sektor wisata. Bagaimana mungkin pemerintah Thai menjadikan negaranya sebagai “rumah border” bagi Amerika? Jawabnya singkat saja “tentara Amerika butuh perempuan; dan Thailand butuh dolar,” tutur salah satu pejabat pemerintahan Vietnam Selatan. Kenapa bisnis seks masih tetap jalan sampai saat ini? Jawabnya, seperti layaknya industri multinasional yang lain, lahan ini mendatangkan keuntungan yang besar dengan membayar murah tubuh perempuan desa, lugu yang hanya berbekal pengalaman dadakan dan menempatkannya sebagai pekerjaan individu yang tidak perlu jaminan keselamatan formal.

Habitat For Humanity

Pernah dengar atau buka situs ini sebelumnya? Ehm vy juga baru sekali ini... Coba buka dan liat apa yang ada di dalamnya akan sangat menarik... Yup HABITAT FOR HUMANITY. Mereka organisasi sosial untuk kepentingan manusia, membantu dan membantu...

Ada artikel yang menarik, tentang gempa yang terjadi di Yogyakarta dan lihat apa yang mereka kerjakan... Maaf artikel ini tidak di translatekan ke dalam bahasa Indonesia...

More Than 1,000 Habitat Homes In Earthquake-Hit Yogyakarta
Completed Ahead Of Schedule

Smart Response Allows HFH Indonesia To Raise House And Funding Targets

YOGYAKARTA, 10th January 2007: Racing ahead of schedule, Habitat for Humanity Indonesia has achieved its target of building 1,000 houses for survivors of last year’s massive earthquake in Central Java, six months ahead of time.

As of November 2006, a total of 1, 085 houses had been completed

Fresh start: Habitat home partners from Kralas,
stand proudly in front of their new house.


The success to date can be put down to several specific reasons. First is the ability to harness “gotong royong” or a strong grassroots spirit: almost all the labor for rebuilding a community comes from within that community.

Second is the availability of sufficient architectural or construction expertise. This helped in the design of houses that minimizes cost but fulfills the need for earthquake-resistant structures. This approach plus the re-use materials has trimmed one-third off the cost of a house.

Another factor has been the HFH Indonesia’s ability to secure project funding speedily. Supporters, both corporations and individuals, came forward readily, enabling Habitat to determine project goals and budgets quickly. Lessons learnt from Habitat for Humanity’s rebuilding program in Aceh after the 2004 tsunami were applied and expedited the startup of the rebuilding project for Yogyakarta. Strong and well-structured teams on local, national and regional levels also enabled an early response to assess and plan what needed to be done.

Satisfied: volunteers from local firm PT Lautan Laus, Tbk,
worked with learn to sieve sand

Delighted by the progress and encouraged by the community, HFH Indonesia has increased the target to 1,500 houses to be built by the middle of 2007. Currently, US$1 million has been raised for the rebuilding project; another US$500,000 will be needed to complete it.

The target includes building 500 homes adapted to the needs of the disabled. Building on the first houses will begin shortly in a partnership with fellow non-governmental organization CARITAS,
the Roman Catholic aid agency.

Stepping forward to lend their support to the rebuilding work have been corporate giants such as Nokia, GE, DOW Chemicals, ABC Group, ExxonMobil, Microsoft,
Cargill Indonesia and PT Lautan Luas.

For the villagers of Kralas, this year’s Ramadhan took on a different and deeper meaning. All the homeowners have settled into their new Habitat homes through the 60-house reconstruction project carried out by HFH Indonesia’s Yogyakarta affiliate
and sponsored by telecommunications company Nokia.

Said Saring, sub-village head in Karlas: “Usually villages visit one another [during Ramadhan]. But because we are living in difficult circumstances, only families and close relatives are coming. However, we are very thankful because at least we have a house to host them.”

Another friend of Habitat, Cargill Indonesia has sponsored and help build alongside the home partners 57 houses that are in the final stages of completion. Of the 57 homes, eight will be owned by Cargill’s employees whose homes were devastated by the 6.3 magnitude earthquake.

New hope: Sukarjo’s youngest daughter Evi was paralyzed from the waist down because of the earthquake.
The family recently moved into their new Habitat home
.


At the Turen Village, a team of volunteers from PT Lautan Laus, Tbk, a leading Indonesian chemicals company, supported the reconstruction of 50 houses through roofing, wall plastering and painting. The volunteers had the opportunity to interact with
the villagers during a community-wide games carnival.

Novita Widyawati, a volunteer from PT Lautan Luas, Tbk, said, “This experience gave us a new knowledge about how to build a house and work as a team. Also we see directly,
the benefits of houses for the community.”