Di sore itu, seperti biasa hidup terasa suntuk, melelahkan, dan yang tak pernah ketinggalan adalah sepi.... Ehmm entah telah beberapa mencaci... Kebiasaan yang selalu Vy lakukan pada saat keadaan seperti ini adalah pergi ke warnet langganan, setelahnya hati akan sedikit merasa terhibur...
Dalam hati terus berharap bilik favorite Vy tidak di gunakan orang.... Masuk ke dalam warnet disambut dengan senyuman operator. Ehmm yaaa walaupun tidak pernah berbincang lama tapi sepertinya sudah akrab karena keseringannya Vy mucul di warnet ini...
"9 Kosong tuh"
Alhamdulillah... Operator ini hafal sekali kalau Vy suka dengan bilik 9.
"Ehmm yaa. Makasih"
Kebiasaan sebelum duduk adalah mengambil minuman dingin lalu menuju bilik 9. Entahlah apa yang membuat bilik 9 ini nyaman... Duduk, dan begitu bingungnya apa yang akan di searching hari ini untuk melepaskan resah... Dengan malasnya Vy membuka google, mengetik mutiara perempuan di keyword nya dengan harapan mendapatkan sesuatau yang menarik dan menyembuhkan resah ini...
Enter
Banyak kemudian yang muncul sangat menarik, termasuk salah satunya adalah "Perempuan Itu Menapaki Pasir di Pinggir Laut" Ehmm gak lama Vy klik... Sangat menarik, tulisan itu adalah ternyata judul cerpen dari seorang penulis Lubis Grafura. Di blog dengan nama http://lubisgrafura.wordpress.com/ ini tersedia link-link cerpen lain yang sama menariknya, salah satu yang mencuri perhatian Vy adalah yang berjudul "Perempuan Dilarang Menangis". Yaaa tipis-tipis sama maknanya dengan judul blog Vy "Do Not Cry Girl!!!".
Blog Vy dengan Do Not Cry Girl nya tersirat ingin mengatakan itu baik untuk kemudian menjadi motivasi untuk di sendiri dan perempuan-perempuan lain di luar sana bahwa masalah tidak dapat diselesaikan dengan menangis... Tapi Fighting !!! Itu juga yang Vy lakukan hampir beberapa bulan setelah "AGUSTUS".... Berusaha kuat untuk tidak membasahi pipi dengan air mata tapi dengan "Melawan".
Tapi yaa manusiawi juga kadang-kadang air mata itu tetap ada di perjalanan hidup ini... Bukannya itu akan disebut cengeng tapi hanya sebagai ekspresi hati pada saat bahagia, sedih dan perasaan-perasaan lainnya yaaa sebagai luapan emosi... Tetes-tetes bening itu akan membuang jutaan "feeling"... Ingat setelah tetes-tetes itu dilepaskan tetap harus kembali "Melawan" !!!
Vy sertakan cerpen "Perempuan Dilarang Menangis" dalam Postingan kali ini. Besar harapan Vy kalau Lubis Grafura tidak berkeberatan dengan ditampilkannya tulisannya dalam blog Vy.
*****************************************************
Perempuan Dilarang Menangis
TIDAK hanya laki-laki yang tidak boleh menangis. Perempuan juga dilarang menangis. Paling tidak begitulah kesimpulan yang dapat kutarik dari perkataan ayah setiap hari. Menjadi seorang perempuan, atau gadis kecil seperti diriku, dalam menghadapi persoalan hidup bukan identik dengan menangis. Tak ada persoalan hidup yang dapat diselesaikan dengan menangis. Kata-kata semacam itu seperti sarapan pagi yang kupaksa lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
***
Seperti pagi sebelumnya, pagi ini aku harus berangkat ke sekolah. Aku selalu membawa sesetel pakaian yang kumasukkan ke dalam tas. Seusai sekolah, aku akan mengganti seragam merah-hatiku dengan baju yang ada di dalam tas. Kemudian aku akan turun ke jalan-jalan menengadahkan tangan di balik pintu kaca mobil. Aku berharap lampu di perempatan itu tak cepat berubah warnanya agar aku bisa lebih lama mengemis kepada bapak-bapak pejabat yang tengah lewat dengan mobil dinasnya. Aku tidak meminta banyak dari mereka. Aku hanya meminta seratus, dua ratus, atau seribu dari dana yang seharusnya untuk membangun sekolahku yang hampir roboh. Bukan untuk membangun kantor yang megah dan membeli mobil dinas mewah.
Aku benci dengan laki-laki yang rambutnya di cat warna kuning emas dihadapanku itu. Ia selalu memaksa diriku menyerahkan uang yang kuperoleh dari mengemis. Pernah suatu kali aku menolaknya, aku justru mendapatkan perlakuan yang buruk. Aku ditampar dan ditendangnya. Uang recehku yang berserakan dipungutinya dan sama sekali tak ada yang tersisa.
“Hei, sini kamu!” Kata laki-laki itu “berapa yang kamu dapat hari ini?”
“Ini.”
“Cuma ini? Apa yang ada di saku belakangmu. Keluarkan semua!”
Laki-laki itu mengambil semua uangku dan hanya menyisakan tiga ribu lima ratus rupiah. Aku berjalan pulang sambil menatap senja di depanku.
Aku menangis dan mengadukan semua ini pada ayah.
Ayah justru memarahiku. Dan ia mengancam akan memukulku jika aku tak berhenti menangis. Aku tak takut dengan ancaman itu. Ternyata ayahku tidak pernah hanya menggertak. Ia melemparku dengan sandal kayu dan mengenai kepalaku hingga berdarah. Kata-kata makian ayah belum berhenti jika aku tak berhenti menangis. Aku harus berusaha menahan isak dan air mata yang mengalir.
“Menangis itu hanya milik orang-orang kaya yang manja. Tidak orang miskin semacam kita. Menangis hanya membuatmu lemah. Kelemahan hanya akan membuatmu lapar karena kau tidak mau mengemis lagi!”
Malam adalah surga bagiku. Ketika malam tiba hanya ketenanganlah yang aku rasakan. Aku merasa bahwa kesombongan manusia pada siang hari tertelan oleh keheningan malam. Dan pada malamlah aku bisa menangis, karena memang malamlah yang bisa memahami tangisku. Sambil memegang foto ibuku, aku menceritakan semua “Ibu, aku benci laki-laki yang rambutnya bercat kuning emas. Uangku hari ini diambil semua olehnya. Padahal aku ingin menabung agar aku bisa menyusul ibu ke Malaysia. Kapan ibu akan kembali? Aku benci ayah yang setiap hari memarahiku. Melarangku untuk menangis. Ibu, aku rindu denganmu.”
Air mataku jatuh di kepala ibuku. Di balik air mataku, kulihat mata ibu juga menangis. Tapi aku melihat senyum di bibir ibu kepadaku. Seolah ia mengatakan padaku untuk terus menangis agar kebekuan hati dapat dicairkan oleh air mata.
***
Di sekolah aku tak bisa menerima raport karena SPP menunggak delapan bulan belum terbayar. Kulihat tabunganku yang kusimpan dalam kaleng dan kutanam di tanah. Kuhitung-hitung aku mendapatkan uang empat puluh ribu.
“Dari mana kamu dapat uang itu?” Tanya ayahku yang semenjak tadi berdiri di belakangku.
“Ini uangku.”
“Dari mana kamu dapat itu? Kamu mencuri?”
“Menabung!”
Ayahku merampas seluruh uangku. Aku berusaha merebutnya. Tangan ayahku lebih besar dari pada tanganku. Aku tak berhasil mempertahankan tabunganku yang kukumpulkan selama berbulan-bulan. Aku tak berani menangis, karena aku tak mau sandal kayu itu mengenai kepalaku lagi.
***
Sudah beberapa pagi aku tak masuk sekolah. Aku mengemis pagi hari dan pulang senja hari. Mungkin memang benar kata ayahku, perempuan tidak boleh menangis. Dan aku tak menangis! Aku akan terus mengumpulkan uang dan aku akan menyembunyikan uangku di lain tempat yang kurasa aman. Bersama foto ibuku. Aku tak peduli dengan ayah yang terus menerus marah padaku karena aku tak memberinya uang.
Tadi pagi, sebelum aku berangkat mengemis, aku bertengkar dengan ayah. Ia minta uang lagi kepadaku. Aku tak memberinya. Ia melemparku dengan sandal kayu lagi, untung saja aku berhasil menghindar, sehingga tak mengenai kepalaku. Kuambil lagi dan kulempar balik mengenai mukanya. Aku lari menghidar.
Ayah menyumpahiku lewat mulutnya yang masih berbau alkohol sisa tadi malam. Ia mengusirku. Tapi aku tak takut dengan ancaman seperti itu. Karena sudah tidak sekali dua kali ayahku menyumpahiku seperti itu. Besok atau malamnya ia pasti sudah lupa dengan apa yang dikatakan hari ini.
Malam ini aku kembali menangis sambil menatap foto ibu. Aku memang tegar di siang hari, tapi tidak untuk malam hari. Aku adalah perempuan. Aku hanya bisa mencairkan kebekuan kehidupan lewat tangisan. Aku bukan laki-laki yang selalu menggunakan otot dan kata-kata kotornya untuk menyelesaikan persoalan hidup. Aku lebih suka memakai hati.
“Ibu, jika kau pulang nanti aku ingin sekali memelukmu. Memberikan semua air mataku kepadamu agar aku tak menangis lagi. Dan aku akan meminta sejuta senyum dari bibirmu. Ibu, aku mengerti kenapa selama ini engkau tak pulang. Aku tahu bahwa engkau akan mengumpulkan uang yang banyak dan ketika pulang engkau akan membawaku pergi dari sini. Aku akan menunggumu ibu.”
Bintang beterbaran di atas pohon. Seolah mereka sangat dekat untuk diraih dengan kedua tanganku dan kumasukkan ke dalam saku. Tapi aku tak pernah mampu memetik mereka. Aku hanya mampu menatap kedua mata ibuku yang basah oleh air mataku.
***
Aku sangat terkejut ketika tak kudapati tabunganku yang kusembunyikan di bawah batu bata. Aku mencari-cari tabungan dan foto ibuku. Namun, aku tak menemukan apa-apa. Jelas sudah bahwa foto dan uangku dicuri oleh seseorang. Hal ini terbukti dengan susunan batu bata yang menutupinya berantakan. Ini pasti di curi.
Ini semua pasti ulah ayahku!
Kumaki-maki ayah di depanku. Kulihat tiga botol berada dalam pelukannya. Ia masih setengah sadar ketika menatapku dengan selusin makian yang keluar lewat mulutku. Ia melempar botol ke samping kakiku. Beberapa pecahan membuat kakiku berdarah.
“Kembalikan foto ibuku dan uangku!”
“Kau!” ia menuding tepat di hidungku dengan jarinya “kau anak bau kencur yang tak tahu apa-apa soal hidup!”
“Aku tak butuh ceramahmu laki-laki tua dan jelek! Aku butuh foto ibuku dan uangku!”
Ayah tertawa di depanku. Kemudian ia menatapku tajam. Aku mundur selangkah. Ada jutaan jarum berkarat di mata ayah yang siap menusuk hatiku. Api di mataku pelan-pelan mulai padam oleh air mata yang mulai merembes lewat pelipis mata. Ayah membuang mukanya dari hadapanku. Botol minuman yang masih tersisa ditenggak beberapa kali.
“Kau tak tahu apa-apa. Kamu masih kecil. Sudah kukubur dalam-dalam foto itu. Tapi kau mencurinya dariku. Kau membuka luka yang dulu hampir sudah kulupakan. Foto itu bukan ibumu.”
“Dia ibuku! Ia pergi ke Malaysia untuk mencari uang dan membawaku pergi darimu.”
“Dengarkan bocah tengik! Ia bukan ibumu” ia kembali menatapku tajam seolah siap menusukkan jarum karatnya di hatiku. “Ia memang istriku. Perempuan yang melahirkanmu. Tapi ia bukan ibumu! Seorang ibu tidak akan pernah meninggalkan anaknya. Ia adalah pelacur! Pelacur yang menjual kelaminnya dengan harga murah untuk mendapatkan uang. Itukah ibumu? Kamu tak perlu mengumpulkan uang untuk pergi ke Malaysia. Sekarangpun aku bisa mengantarkanmu untuk menemui perempuan lacur itu. Ia sekarang sudah menjadi istri simpanan seorang yang kaya.”
Jarum karat itu nyata sudah mengoyak-koyak seluruh batinku. Darah mengalir di antara batang jarum yang berkarat. Aku merintih kesakitan. Bukan tubuhku yang merasakan sakit, namun seluruh jiwaku menjadi karat. Aku menutup kedua telinga, tetapi kata-kata itu tidak hanya dibisikkan lewat telinga. Seolah seluruh tubuhku dapat membisikkan bahwa ibuku adalah pelacur dan kini meninggalkan aku sendirian di ruang yang gelap.
Seharian aku menangis. Entah kenapa hari ini ayahku sama sekali tak melarangku menangis. Hingga malam tiba aku masih menyambung tangisku. Seharian aku tak makan. Kurasa ayahku iba denganku. Ia membelikan aku sebungkus makanan. Lama sekali makanan itu kuperhatikan sama sekali tak kusentuh. Kedua mata ini terasa sangat panas, namun air mataku tak pernah bosan untuk mongering. Kuambil makanan di depanku dan kumakan dengan rakus. Bulan memandangku dengan penuh iba. Mungkin ia menangis dan menyembuyikan wajahnya di balik awan yang mengepul tipis di bawahnya.
***
Aku senang jika lampu di perempatan jalan itu menyala merah. Mobil-mobil berhenti patuh kepada benda mati bernama lampu lalu lintas. Dari satu kaca mobil ke mobil lain kuketuk. Pada sebuah mobil kulihat seorang perempuan yang memiliki mata mirip ibuku. Ia memandangku tanpa asing. Mata itu seteduh mata foto ibuku. Senyumnya selembut senyum foto ibu. Namun tangannya tak seputih foto ibuku ketika memberiku uang lima puluh ribu rupiah. Jumlah uang yang belum pernah kudapat sebelumnya. Aku tertegun. Tanganku tak kuasa untuk mengemis, tapi jiwa ini akan sujud mengemis kasihnya.
Lampu diperempatan itu segera berubah warnanya. Klakson-klakson mengejutkanku. Tak sedikit orang memakiku supaya aku menghidar. Air mata keluar tanpa menunggu perintah dariku. Cepat-cepat kuusap dan kuambil uang itu. Ia bukan ibuku! Aku tak akan lagi menangis. Dan memang gadis seperti diriku dilarang untuk menangis.
Dalam hati terus berharap bilik favorite Vy tidak di gunakan orang.... Masuk ke dalam warnet disambut dengan senyuman operator. Ehmm yaaa walaupun tidak pernah berbincang lama tapi sepertinya sudah akrab karena keseringannya Vy mucul di warnet ini...
"9 Kosong tuh"
Alhamdulillah... Operator ini hafal sekali kalau Vy suka dengan bilik 9.
"Ehmm yaa. Makasih"
Kebiasaan sebelum duduk adalah mengambil minuman dingin lalu menuju bilik 9. Entahlah apa yang membuat bilik 9 ini nyaman... Duduk, dan begitu bingungnya apa yang akan di searching hari ini untuk melepaskan resah... Dengan malasnya Vy membuka google, mengetik mutiara perempuan di keyword nya dengan harapan mendapatkan sesuatau yang menarik dan menyembuhkan resah ini...
Enter
Banyak kemudian yang muncul sangat menarik, termasuk salah satunya adalah "Perempuan Itu Menapaki Pasir di Pinggir Laut" Ehmm gak lama Vy klik... Sangat menarik, tulisan itu adalah ternyata judul cerpen dari seorang penulis Lubis Grafura. Di blog dengan nama http://lubisgrafura.wordpress.com/ ini tersedia link-link cerpen lain yang sama menariknya, salah satu yang mencuri perhatian Vy adalah yang berjudul "Perempuan Dilarang Menangis". Yaaa tipis-tipis sama maknanya dengan judul blog Vy "Do Not Cry Girl!!!".
Blog Vy dengan Do Not Cry Girl nya tersirat ingin mengatakan itu baik untuk kemudian menjadi motivasi untuk di sendiri dan perempuan-perempuan lain di luar sana bahwa masalah tidak dapat diselesaikan dengan menangis... Tapi Fighting !!! Itu juga yang Vy lakukan hampir beberapa bulan setelah "AGUSTUS".... Berusaha kuat untuk tidak membasahi pipi dengan air mata tapi dengan "Melawan".
Tapi yaa manusiawi juga kadang-kadang air mata itu tetap ada di perjalanan hidup ini... Bukannya itu akan disebut cengeng tapi hanya sebagai ekspresi hati pada saat bahagia, sedih dan perasaan-perasaan lainnya yaaa sebagai luapan emosi... Tetes-tetes bening itu akan membuang jutaan "feeling"... Ingat setelah tetes-tetes itu dilepaskan tetap harus kembali "Melawan" !!!
Vy sertakan cerpen "Perempuan Dilarang Menangis" dalam Postingan kali ini. Besar harapan Vy kalau Lubis Grafura tidak berkeberatan dengan ditampilkannya tulisannya dalam blog Vy.
*****************************************************
Perempuan Dilarang Menangis
TIDAK hanya laki-laki yang tidak boleh menangis. Perempuan juga dilarang menangis. Paling tidak begitulah kesimpulan yang dapat kutarik dari perkataan ayah setiap hari. Menjadi seorang perempuan, atau gadis kecil seperti diriku, dalam menghadapi persoalan hidup bukan identik dengan menangis. Tak ada persoalan hidup yang dapat diselesaikan dengan menangis. Kata-kata semacam itu seperti sarapan pagi yang kupaksa lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.
***
Seperti pagi sebelumnya, pagi ini aku harus berangkat ke sekolah. Aku selalu membawa sesetel pakaian yang kumasukkan ke dalam tas. Seusai sekolah, aku akan mengganti seragam merah-hatiku dengan baju yang ada di dalam tas. Kemudian aku akan turun ke jalan-jalan menengadahkan tangan di balik pintu kaca mobil. Aku berharap lampu di perempatan itu tak cepat berubah warnanya agar aku bisa lebih lama mengemis kepada bapak-bapak pejabat yang tengah lewat dengan mobil dinasnya. Aku tidak meminta banyak dari mereka. Aku hanya meminta seratus, dua ratus, atau seribu dari dana yang seharusnya untuk membangun sekolahku yang hampir roboh. Bukan untuk membangun kantor yang megah dan membeli mobil dinas mewah.
Aku benci dengan laki-laki yang rambutnya di cat warna kuning emas dihadapanku itu. Ia selalu memaksa diriku menyerahkan uang yang kuperoleh dari mengemis. Pernah suatu kali aku menolaknya, aku justru mendapatkan perlakuan yang buruk. Aku ditampar dan ditendangnya. Uang recehku yang berserakan dipungutinya dan sama sekali tak ada yang tersisa.
“Hei, sini kamu!” Kata laki-laki itu “berapa yang kamu dapat hari ini?”
“Ini.”
“Cuma ini? Apa yang ada di saku belakangmu. Keluarkan semua!”
Laki-laki itu mengambil semua uangku dan hanya menyisakan tiga ribu lima ratus rupiah. Aku berjalan pulang sambil menatap senja di depanku.
Aku menangis dan mengadukan semua ini pada ayah.
Ayah justru memarahiku. Dan ia mengancam akan memukulku jika aku tak berhenti menangis. Aku tak takut dengan ancaman itu. Ternyata ayahku tidak pernah hanya menggertak. Ia melemparku dengan sandal kayu dan mengenai kepalaku hingga berdarah. Kata-kata makian ayah belum berhenti jika aku tak berhenti menangis. Aku harus berusaha menahan isak dan air mata yang mengalir.
“Menangis itu hanya milik orang-orang kaya yang manja. Tidak orang miskin semacam kita. Menangis hanya membuatmu lemah. Kelemahan hanya akan membuatmu lapar karena kau tidak mau mengemis lagi!”
Malam adalah surga bagiku. Ketika malam tiba hanya ketenanganlah yang aku rasakan. Aku merasa bahwa kesombongan manusia pada siang hari tertelan oleh keheningan malam. Dan pada malamlah aku bisa menangis, karena memang malamlah yang bisa memahami tangisku. Sambil memegang foto ibuku, aku menceritakan semua “Ibu, aku benci laki-laki yang rambutnya bercat kuning emas. Uangku hari ini diambil semua olehnya. Padahal aku ingin menabung agar aku bisa menyusul ibu ke Malaysia. Kapan ibu akan kembali? Aku benci ayah yang setiap hari memarahiku. Melarangku untuk menangis. Ibu, aku rindu denganmu.”
Air mataku jatuh di kepala ibuku. Di balik air mataku, kulihat mata ibu juga menangis. Tapi aku melihat senyum di bibir ibu kepadaku. Seolah ia mengatakan padaku untuk terus menangis agar kebekuan hati dapat dicairkan oleh air mata.
***
Di sekolah aku tak bisa menerima raport karena SPP menunggak delapan bulan belum terbayar. Kulihat tabunganku yang kusimpan dalam kaleng dan kutanam di tanah. Kuhitung-hitung aku mendapatkan uang empat puluh ribu.
“Dari mana kamu dapat uang itu?” Tanya ayahku yang semenjak tadi berdiri di belakangku.
“Ini uangku.”
“Dari mana kamu dapat itu? Kamu mencuri?”
“Menabung!”
Ayahku merampas seluruh uangku. Aku berusaha merebutnya. Tangan ayahku lebih besar dari pada tanganku. Aku tak berhasil mempertahankan tabunganku yang kukumpulkan selama berbulan-bulan. Aku tak berani menangis, karena aku tak mau sandal kayu itu mengenai kepalaku lagi.
***
Sudah beberapa pagi aku tak masuk sekolah. Aku mengemis pagi hari dan pulang senja hari. Mungkin memang benar kata ayahku, perempuan tidak boleh menangis. Dan aku tak menangis! Aku akan terus mengumpulkan uang dan aku akan menyembunyikan uangku di lain tempat yang kurasa aman. Bersama foto ibuku. Aku tak peduli dengan ayah yang terus menerus marah padaku karena aku tak memberinya uang.
Tadi pagi, sebelum aku berangkat mengemis, aku bertengkar dengan ayah. Ia minta uang lagi kepadaku. Aku tak memberinya. Ia melemparku dengan sandal kayu lagi, untung saja aku berhasil menghindar, sehingga tak mengenai kepalaku. Kuambil lagi dan kulempar balik mengenai mukanya. Aku lari menghidar.
Ayah menyumpahiku lewat mulutnya yang masih berbau alkohol sisa tadi malam. Ia mengusirku. Tapi aku tak takut dengan ancaman seperti itu. Karena sudah tidak sekali dua kali ayahku menyumpahiku seperti itu. Besok atau malamnya ia pasti sudah lupa dengan apa yang dikatakan hari ini.
Malam ini aku kembali menangis sambil menatap foto ibu. Aku memang tegar di siang hari, tapi tidak untuk malam hari. Aku adalah perempuan. Aku hanya bisa mencairkan kebekuan kehidupan lewat tangisan. Aku bukan laki-laki yang selalu menggunakan otot dan kata-kata kotornya untuk menyelesaikan persoalan hidup. Aku lebih suka memakai hati.
“Ibu, jika kau pulang nanti aku ingin sekali memelukmu. Memberikan semua air mataku kepadamu agar aku tak menangis lagi. Dan aku akan meminta sejuta senyum dari bibirmu. Ibu, aku mengerti kenapa selama ini engkau tak pulang. Aku tahu bahwa engkau akan mengumpulkan uang yang banyak dan ketika pulang engkau akan membawaku pergi dari sini. Aku akan menunggumu ibu.”
Bintang beterbaran di atas pohon. Seolah mereka sangat dekat untuk diraih dengan kedua tanganku dan kumasukkan ke dalam saku. Tapi aku tak pernah mampu memetik mereka. Aku hanya mampu menatap kedua mata ibuku yang basah oleh air mataku.
***
Aku sangat terkejut ketika tak kudapati tabunganku yang kusembunyikan di bawah batu bata. Aku mencari-cari tabungan dan foto ibuku. Namun, aku tak menemukan apa-apa. Jelas sudah bahwa foto dan uangku dicuri oleh seseorang. Hal ini terbukti dengan susunan batu bata yang menutupinya berantakan. Ini pasti di curi.
Ini semua pasti ulah ayahku!
Kumaki-maki ayah di depanku. Kulihat tiga botol berada dalam pelukannya. Ia masih setengah sadar ketika menatapku dengan selusin makian yang keluar lewat mulutku. Ia melempar botol ke samping kakiku. Beberapa pecahan membuat kakiku berdarah.
“Kembalikan foto ibuku dan uangku!”
“Kau!” ia menuding tepat di hidungku dengan jarinya “kau anak bau kencur yang tak tahu apa-apa soal hidup!”
“Aku tak butuh ceramahmu laki-laki tua dan jelek! Aku butuh foto ibuku dan uangku!”
Ayah tertawa di depanku. Kemudian ia menatapku tajam. Aku mundur selangkah. Ada jutaan jarum berkarat di mata ayah yang siap menusuk hatiku. Api di mataku pelan-pelan mulai padam oleh air mata yang mulai merembes lewat pelipis mata. Ayah membuang mukanya dari hadapanku. Botol minuman yang masih tersisa ditenggak beberapa kali.
“Kau tak tahu apa-apa. Kamu masih kecil. Sudah kukubur dalam-dalam foto itu. Tapi kau mencurinya dariku. Kau membuka luka yang dulu hampir sudah kulupakan. Foto itu bukan ibumu.”
“Dia ibuku! Ia pergi ke Malaysia untuk mencari uang dan membawaku pergi darimu.”
“Dengarkan bocah tengik! Ia bukan ibumu” ia kembali menatapku tajam seolah siap menusukkan jarum karatnya di hatiku. “Ia memang istriku. Perempuan yang melahirkanmu. Tapi ia bukan ibumu! Seorang ibu tidak akan pernah meninggalkan anaknya. Ia adalah pelacur! Pelacur yang menjual kelaminnya dengan harga murah untuk mendapatkan uang. Itukah ibumu? Kamu tak perlu mengumpulkan uang untuk pergi ke Malaysia. Sekarangpun aku bisa mengantarkanmu untuk menemui perempuan lacur itu. Ia sekarang sudah menjadi istri simpanan seorang yang kaya.”
Jarum karat itu nyata sudah mengoyak-koyak seluruh batinku. Darah mengalir di antara batang jarum yang berkarat. Aku merintih kesakitan. Bukan tubuhku yang merasakan sakit, namun seluruh jiwaku menjadi karat. Aku menutup kedua telinga, tetapi kata-kata itu tidak hanya dibisikkan lewat telinga. Seolah seluruh tubuhku dapat membisikkan bahwa ibuku adalah pelacur dan kini meninggalkan aku sendirian di ruang yang gelap.
Seharian aku menangis. Entah kenapa hari ini ayahku sama sekali tak melarangku menangis. Hingga malam tiba aku masih menyambung tangisku. Seharian aku tak makan. Kurasa ayahku iba denganku. Ia membelikan aku sebungkus makanan. Lama sekali makanan itu kuperhatikan sama sekali tak kusentuh. Kedua mata ini terasa sangat panas, namun air mataku tak pernah bosan untuk mongering. Kuambil makanan di depanku dan kumakan dengan rakus. Bulan memandangku dengan penuh iba. Mungkin ia menangis dan menyembuyikan wajahnya di balik awan yang mengepul tipis di bawahnya.
***
Aku senang jika lampu di perempatan jalan itu menyala merah. Mobil-mobil berhenti patuh kepada benda mati bernama lampu lalu lintas. Dari satu kaca mobil ke mobil lain kuketuk. Pada sebuah mobil kulihat seorang perempuan yang memiliki mata mirip ibuku. Ia memandangku tanpa asing. Mata itu seteduh mata foto ibuku. Senyumnya selembut senyum foto ibu. Namun tangannya tak seputih foto ibuku ketika memberiku uang lima puluh ribu rupiah. Jumlah uang yang belum pernah kudapat sebelumnya. Aku tertegun. Tanganku tak kuasa untuk mengemis, tapi jiwa ini akan sujud mengemis kasihnya.
Lampu diperempatan itu segera berubah warnanya. Klakson-klakson mengejutkanku. Tak sedikit orang memakiku supaya aku menghidar. Air mata keluar tanpa menunggu perintah dariku. Cepat-cepat kuusap dan kuambil uang itu. Ia bukan ibuku! Aku tak akan lagi menangis. Dan memang gadis seperti diriku dilarang untuk menangis.