Monday, August 18, 2008

... c a p t u r e ...

Nenek Dato

Perempuan tua yang luar biasa menginspirasiku bagaimana menjalani hidup. Kokoh, gigih dan lembut.

Brotherhood
Ehmmm melihat "capture" ini membuatku sangat menginginkan memiliki NYA.. Romantisme yang indah.

Petani Perempuan
Tak sengaja "capture" ini membuatku jatuh cinta.. Saat perempuan ini menjemur gabah padinya.

Tuesday, August 05, 2008

Di tengah Hujan

04.00 p.m - Jeneponto, .. July 2008

.. Hujan rintik, mendung dan sedikit cahaya matahari menyembul

Aku telah berada di perhentian ojek di daerah Tanetea, Tamalatea –salah satu kecamatan di Kabupaten Jeneponto- hampir setengah jam karena menunggu hujan reda. Aku bisa saja menerobos hujan dan menaiki ojek yang setia menemaniku di halte reot -yang atapnya bocor disana sini- untuk pulang ke rumah –Desa Batusaraung- . Tapi dinginnya udara membuatku berpikir panjang, juga membayangkan seluruh tubuhku kebasahan. Walaupun hanya hujan rintik, tapi perjalanan sekitar 25 menit dapat membuatku basah dengan sukses.

Di bulan-bulan ini yang aku tahu seharusnya Jeneponto telah menjadi seperti gurun, tandus dan kering. Tapi tahun ini, curah hujan masih tinggi yang harusnya memasuki musim kemarau dimana sebagian tambak di daerah pesisir Jeneponto -Kecamatan Bangkala, Bangkala Barat, Tamalatea dan Arungkeke- dipenuhi kristal-kristal garam. Sepertinya tahun ini menjadi tahun yang berat bagi petambak garam karena iklim tak bersahabat.

Tukang ojekku –Daeng Ngangka- yang sedang asyik bersiul, mendendangkan lagu “mangkasara” kesukaannya dengan tiba-tiba terhenyak kaget setelah membaca pesan singkat di telepon genggamnya.

“Mesti ki inne liba-liba lampa karaeng, a’ba lompo sike’de mami na rapi ki jambatang Ta’bing Jai” .
“Kita harus cepat-cepat pergi, banjir besar sedikit lagi mendekati Jembatan Tab’ing Jai”.


Ehmm aku menjadi was-was mendengarnya, memang bisa saja menimbulkan banjir besar mengingat sudah sejak pagi hujan rintik ini di Jeneponto. Salah saru daerah yang rawan terkena banjir adalah di Desa Ta’bing Jai, desa yang harus kulewati jika ingin sampai ke rumah.

Segera Daeng Ngangka mengeluarkan jas hujan dan diberikan kepadaku. Akhirnya aku pasrah juga kedinginan... Dari tempat perhentian ojek ke Desa Ta’bing Jai memakan waktu sekitar 10 menit, itu cukup membuatku kebasahan walau memakai jas pelindung hujan. Mendekati desa, sebelum jembatan besar Desa Ta’bing Jai aku melihat banyak pengendara telah memarkirkan kendaraan bermotornya dirumah-rumah penduduk.

“Iiii tala’ ki Karaeng, a’ba mi ri dallekang”
“Kita sudah terlamabat, banjir sudah ada di depan”

“Jari, tingkamma maki inne”
“Jadi bagaimana dengan kita?”

“Naung maki rolo Karaeng, nia’ ballana bijangku kantumae. Kanjo maki tayang sanggena mari a’bayya”
“Turun saja dulu, ada rumah keluarga saya disebelah situ. Disana saja kita menunggu sampai banjir berhenti”


Kuikuti langkah Daeng Ngangka yang sambil mendorong motor menuju rumah keluarganya ditengah hujan yang ukuran butirnya mulai membesar. Kurasakan hidungku mulai dingin seperti es... Humph... Fungsi hidungku mulai berkurang di kondisi seperti ini, hal yang sungguh menyiksa...

Aku menuju rumah yang tidak asing untukku, tidak saja karena jalan ini kulewati hampir tiap hari. Tapi, karena nenek tua yang mendiami rumah ini –yang selalu duduk di teras rumah panggungnya, ditempat yang sama dan di waktu yang sama, juga selalu tersenyum padaku ketika aku melintas-. Entahlah setiap momen itu membuatku merasa nenek itu tidak asing buatku, walau aku tak mengenalnya secara langsung.

Saat Daeng Ngangka memarkirkan motornya di bawah rumah panggung, aku disuruhnya untuk naik ke rumah terlebih dahulu, namun enggan kuturuti karena aku tak mengenal sang pemilik rumah. Aku berdiri di tangga rumah menunggu Daeng Ngangka. Halaman rumah ini luas, banyak sekali kulihat busut –longgok tanah sebagai tempat sarang semut- di antara ilalang Imperata cylindrica yang telah ditinggalkan pemiliknya karena guyuran hujan dan kemudian membuat jejeran menarik menuju tangga rumah panggung itu untuk mencari perlidungan. Di sudut halaman ada beberapa pohon asam Tamarindus indica, yang ukurannya lebih tinggi dari rumah panggung ini. Rumahnya tua, jauh lebih tua dari umur rumah panggung Nenek Dato. Semua dinding rumah terbuat dari seng, warna merah cat seng kusam dan banyak berlubang. Kayu penyangga rumah panggungnya juga banyak dimakan rayap, dan doyong ke arah kiri sehingga nampak tak kokoh.

Daeng Ngangka bergegas naik menuju rumah panggung, dan langsung membuka pintu yang tidak terkunci, aku setia berjalan di belakangnya hingga di dalam rumah. Aku disuruhnya menunggu di ruangan depan sembari ia mengambilkan kursi kayu untukku dari ruangan belakang -yang kucirikan itu adalah dapur, karena ada tungku perapian disana dan perabot masak lain yang telah berpuyan- dan mempersilahkan aku duduk. Di ruangan depan ini hanya ada beberapa foto tua lusuh yang tergantung dan tidak satu set kursi tamu –seperti di rumah kebanyakan -. Rumah panggung ini masih seperti gaya rumah panggung lama, tidak seperti kebanyakan sekarang yang tata letaknya seperti rumah batu modern. Rumahnya tanpa sekat dari ruang tamu hingga dapur, hal yang dapat mencirikan satu ruangan dinamakan ruang tamu, kamar atau dapur adalah dari perabotan yang ada. Itu saja. Sederhana sekali. Dan yang menyulitkan aku mencirikannya adalah perabotan rumah yang kurang.

Aku mendengar suara orang tua terbatuk-batuk dari balik tirai tipis tidak jauh dari ruangan yang kucirikan sebagai dapur. Daeng Ngangka menuju tempat itu, aku mendengarnya bercerita dengan seseorang disana, tak lama Daeng Ngangka keluar dengan orang tua yang kukenali. Yaaa Nenek tua itu. Senang sekali bisa melihatnya dari jarak sedekat ini. Wajahnya sumringah, tersenyum. Jalannya tertatih -mungkin karena penyakit tua dan postur badannya yang besar– ke arahku sambil berusaha menggulung untaian rambutnya yang putih dan tipis. Aku berdiri dan berjalan ke arahnya, tak tega melihatnya berjalan tertatih.

Nenek banyak bertutur tentang dirinya. Sudah hampir 3 tahun nenek sendiri dirumahnya, anak dan kerabat lainnya sesekali saja berkunjung. Untuk urusan makanan tiap harinya, ada keponakan yang tinggal tidak jauh dari rumahnya membawakan sekaligus menemani berbincang beberapa jam. Teduh melihatnya menggerakkan bibir dan melihat mimik mukanya.

Hampir sejam, aku asyik “mengobrol” dengan nenek sementara Daeng Ngangka tertidur pulas di anyaman bambu di sudut ruangan depan ini. Aku mempersilahkan nenek untuk istirahat, karena kondisinya yang sedang tidak sehat dan beranjak ke teras rumah untuk menunggu banjir reda dan Daeng Ngangka bangun. Landskap yang indah, tepat diseberang jalan ada ladang jagung yang hijau kekuningan dan kubangan tempat kerbau-kerbau dimandikan pengembalanya. Ups... muncul juga pelangi nan indah disana. Ehmmm aku jadi sering melihat pelangi semenjak tinggal di Jeneponto. * Tapi aku tak ingin engkau menjadi seperti pelangi itu, indah tapi hanya sesaat.. kok curhat

Akhirnya, setelah dua jam menunggu, banjir agak mereda dan kendaraan dapat melintasi desa. Berpamitan dengan Nenek dan mendapat sesuatu yang istimewa lagi hari ini..