Tuesday, May 23, 2006

Pekerja Perempuan di Dua Negeri Islam

“Perempuan memiliki hak untuk bekerja dan kebebasan memilih jenis pekerjaanya”UDHR 23:1, ICESCR 6, CEDAW 11a, ICERD 5e
“Perempuan memiliki hak untuk bekerja dengan jaminan keadilan, keamanan, upah yang baik, tempat yang pantas, dan didukung oleh perlindungan sosial jika dibutuhkan. Perempuan memiliki hak untuk bekerja dengan kondisi yang sama dengan laki-laki, terutama hak untuk mendapatkan upah yang sama dengan pekerjaan yang sama dengan laki-laki“ UDHR 23:2 &3, ICESCR 7a &b, CEDAW 11, 14:2e, ICERD 5e, PFA 165a, DEVAW 3g

Masalah klasik yang dihadapi oleh kaum perempuan di berbagai belahan dunia dari zaman dulu sampai sekarang ialah terbatasnya hak untuk bekerja dan memilih pekerjaan. Di sebagian besar negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Arab Saudi dan Kuwait, masalah ini merupakan masalah yang paling utama. Jika menilik kedua negara tersebut, dari segi ekonomi kedua negara tersebut terbilang cukup mapan dan makmur. Bekerja bagi perempuan di sana sepertinya bukanlah suatu hal yang mutlak, berbeda bagi kebanyakan perempuan Muslim di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Bangladesh. Namun ternyata tuntutan untuk dapat bekerja dan memilih pekerjaan merupakan tuntutan dasar bagi kebanyakan perempuan di Arab Saudi. Menurut data statistik pemerintah Arab Saudi, perempuan bekerja tercatat hanya 5 % dan pekerjaan mereka pun dibatasi hanya berada di zona domestik seperti pekerjaan keagamaan, pendidikan dan perawatan. Gencarnya tuntutan untuk memperoleh hak aktif dalam ekonomi mulai disuarakan oleh kaum perempuan Arab Saudi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Walau perkembangannya terasa lambat, pemerintah Arab Saudi yang diwakili oleh King Abdul Aziz Center mengorganisir suatu forum bersama di kota suci Madinah sekitar bulan Juni 2004 yang bertujuan untuk membahas hak dan peranan kaum perempuan Arab Saudi. Forum tersebut dihadiri pula oleh perempuan dari berbagai profesi seperti pengajar dan jurnalis. Menurut salah satu partisipan perempuan dalam forum tersebut, masalah ekonomi merupakan masalah yang paling signifikan yang dialami oleh banyak perempuan. Sekarang ini banyak perempuan bercerai dan mutlak memenuhi tuntutan ekonomi keluarganya. Selain itu banyaknya lulusan perempuan yang menganggur dan merasa ilmu mereka sia-sia karena tidak terimplementasinya keilmuan mereka. Forum tersebut menghasilkan sebuah rekomendasi bagi pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan mereka terhadap kaum perempuan. Walau sifat dari rekomendasi tersebut tidak mengikat, setidaknya hal ini merupakan suatu langkah positif dan semoga itu menjadi awal dari perubahan bagi kaum perempuan di Saudi menurut Nawal al-Rashid, yang baru saja terpilih sebagai ketua perserikatan pers Arab Saudi. Lain Arab Saudi, lain pula Malaysia. Negeri jiran ini lebih dianggap sebagai suatu potret negara Muslim yang sukses. Salah satu indikator kesuksesan adalah berhasilnya Malaysia bangkit kembali setelah mengalami krisis ekonomi yang menghantam hampir seluruh kawasan Asia Tenggara pada tahun 1997. Kemampuan Malaysia dalam menata kembali ekonominya tidak terlepas dari peranan kaum perempuan di sana. Saat ini diperkirakan jumlah perempuan yang aktif dalam perekonomian mencapai 38 % dari hanya 7 % pada tahun 1980 dan 8,5 % di tahun 1990. Bahkan di sektor pendidikan dan profesional, jumlah perempuan sedikit mengungguli laki-laki. Keberhasilan ini memang merupakan buah dari kebijakan Pemerintah Malaysia yang berkomitmen dalam perihal kesetaraan gender yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan negerinya. Berbagai inisiatif dan langkah telah diambil untuk mempromosikan kebijakan ini seperti turut serta dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ke-4 dan UN Fourth World Conference on Women Platform for Action (PFA) yang bertempat di Beijing tahun 1995. Pemerintah Malaysia juga meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women (CEDAW). Komitmen Pemerintah Malaysia dalam pemberdayaan perempuan tertuang dalam kebijakan terhadap masalah gender sebagai berikut:1. Perbaikan secara menyeluruh dan struktural bagi kemajuan perempuan2. Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan3. Perlindungan hak-hak perempuan dalam masalah kesehatan, pendidikan dan sosial4. Penghapusan hambatan bagi perempuan dan praktik diskriminasi gender
Keseriusan dan komitmen pemerintah Malaysia dalam hal ini memang patut dipuji. Hal ini merupakan salah satu faktor kebangkitan Malaysia keluar dari krisis ekonomi. Pesatnya pertumbuhan dan kestabilan ekonomi Malaysia dan juga modernisasi merupakan salah satu faktor kemajuan bagi perempuan Malaysia. Salah satu gambaran tentang kemajuan kaum perempuan terlihat pada sektor pendidikan. Dewasa ini lebih banyak perempuan yang menuntut ilmu pada level universitas sehingga banyak melahirkan intelektual perempuan. Posisi-posisi strategis seperti pengacara, direktur utama bank, profesor, duta besar dan menteri juga diisi oleh perempuan. Bahkan mengutip data dari situs www.qantara.de, kesempatan untuk berkarier bagi perempuan di sana lebih besar ketimbang perempuan-perempuan yang hidup di negara Barat sekalipun! Dalam sebuah perbincangan penulis dengan Haji Maarof Haji Salleh seorang warga Singapura dan juga peneliti ISEAS yang sering berkunjung ke Malaysia, diakui atau tidak pemerintah Malaysia memang lebih kooperatif dalam mengakomodir permasalahan perempuan bekerja. Seperti contoh ia mengungkapkan bahwa perempuan Muslimah yang mengenakan tudung atau jilbab nyaris tidak pernah menjadi kontroversi seperti halnya di Indonesia semasa era Orde Baru yang pernah membuat larangan tidak resmi tentang penggunaan jilbab bagi para pegawai negeri dan siswi sekolah negeri. Pemberian cuti bagi perempuan bekerja secara kuantitas lebih banyak ketimbang perempuan bekerja di Indonesia. Pendek kata, Malaysia memang dianggap sebagai sebuah simbol baru mengenai negara Muslim yang “berhasil” memadukan tradisi dan modernitas. Walaupun begitu bukan berarti perempuan bekerja di Malaysia tidak mempunyai problem yang signifikan. Problem utama yang sekarang dihadapi oleh mereka adalah ketidaksamaan dalam jumlah pendapatan jika dibandingkan dengan kaum lelaki. Isu mengenai hal ini sebenarnya sudah menjadi salah satu agenda sebagian besar LSM yang bergerak dalam kajian gender. Seringkali perempuan bekerja hanya dilihat sebagai faktor penunjang bagi perekonomian keluarga karena lelakilah yang dituntut untuk bekerja atau mencari nafkah. Pada akhirnya, masih ada agenda yang harus dituntaskan di dua negeri ini untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan, terutama pekerja perempuan.

No comments: