Lokasi : Benteng Somba Opu, Site Tana Toraja
Foto Oleh : Achmad Harris
Pict 1:
Pict 2:
Pict 3:
For the broken heart this is a sweet lullaby..For all the weary souls please do not cry..
This lullaby is for those who can not seem to keep a piece of mind..
Trying to explain emotions And words I can not seem to find..
Tuesday, November 25, 2008
Wednesday, November 19, 2008
simplicity...
.......in my room
THINGS SHOULD BE MADE AS SIMPLE AS POSSIBLE, BUT NOT ANY SIMPLER| Albert Einstein
A hundred times a day i remind myself that my inner and outer life depends on the labor of other people, living and dead, and that i must exert myself in order to give in the same measure as i have recieved and am still receiving. I am strongly drama to the simple life an am often oppressed by the feeling that i am engrossing an unnecessary amount of the labor of my fellow people. I regard class differences as contrary to justice and, in the last resort, based on force. I also consider that plain living is good for everybody, physically and mentally..
THINGS SHOULD BE MADE AS SIMPLE AS POSSIBLE, BUT NOT ANY SIMPLER| Albert Einstein
A hundred times a day i remind myself that my inner and outer life depends on the labor of other people, living and dead, and that i must exert myself in order to give in the same measure as i have recieved and am still receiving. I am strongly drama to the simple life an am often oppressed by the feeling that i am engrossing an unnecessary amount of the labor of my fellow people. I regard class differences as contrary to justice and, in the last resort, based on force. I also consider that plain living is good for everybody, physically and mentally..
Tuesday, November 04, 2008
Friday, October 10, 2008
DUA PULUH EMPAT tahun...
........my room
Hari ini, 24 tahun lalu aku lahir dan menandai hari dimulainya 'count' kehidupan di luar rahim Ummi.
Syukur tak terhingga kepadamu Allah SWT, yang menjadikan usia ku hingga kini. Tetap membiarkanku menghirup udara, menikmati indahnya pelangi dan purnama, hangatnya sang mentari serta menjalani kehidupan menyenangkan di pelosok desa Jeneponto. Ehmm tak ada kata yang cukup ya Rabb..
Harapanku pada MU, aku ingin tetap bisa merasakan pelukan hangat, kecupan indah Ummi dan Abah serta berikanlah kemudahan untukku membahagiakan keduanya serta kemudahan tuk seseorang yang diseberang sana memi....ku dan untuk merealisasikan 10 menitnya :). AMIN
Posted from Vy's 7610
Hari ini, 24 tahun lalu aku lahir dan menandai hari dimulainya 'count' kehidupan di luar rahim Ummi.
Syukur tak terhingga kepadamu Allah SWT, yang menjadikan usia ku hingga kini. Tetap membiarkanku menghirup udara, menikmati indahnya pelangi dan purnama, hangatnya sang mentari serta menjalani kehidupan menyenangkan di pelosok desa Jeneponto. Ehmm tak ada kata yang cukup ya Rabb..
Harapanku pada MU, aku ingin tetap bisa merasakan pelukan hangat, kecupan indah Ummi dan Abah serta berikanlah kemudahan untukku membahagiakan keduanya serta kemudahan tuk seseorang yang diseberang sana memi....ku dan untuk merealisasikan 10 menitnya :). AMIN
Posted from Vy's 7610
Wednesday, October 08, 2008
Happy IED
Monday, September 15, 2008
Purnama, Indah!
..........jeneponto
Bulan purnama malam ini, disini indah Hun, begitu juga ditempatmu berada sekarang kan? Bulan yang nampak bulat sempurna terlihat dari Bumi. Karena letak tempat kita berpijak ini terletak segaris di antara Matahari dan Bulan, sehingga seluruh permukaan bulan yang diterangi Matahari terlihat dari sini...
Ia terlihat sempurna malam ini, cantik dan memikatku juga membuatku mengingatmu.. "Seperti mentari, aku tak pernah bosan tuk kembali mengulang tiap detik bersama anginmu yang setia. Pun ketika rindu itu kembali resah, aku masih setia menunggu semilir angin dari lembahmu". Iya, hanya itu saja...
Bulan purnama malam ini, disini indah Hun, begitu juga ditempatmu berada sekarang kan? Bulan yang nampak bulat sempurna terlihat dari Bumi. Karena letak tempat kita berpijak ini terletak segaris di antara Matahari dan Bulan, sehingga seluruh permukaan bulan yang diterangi Matahari terlihat dari sini...
Ia terlihat sempurna malam ini, cantik dan memikatku juga membuatku mengingatmu.. "Seperti mentari, aku tak pernah bosan tuk kembali mengulang tiap detik bersama anginmu yang setia. Pun ketika rindu itu kembali resah, aku masih setia menunggu semilir angin dari lembahmu". Iya, hanya itu saja...
Thursday, September 04, 2008
don't be sad ABAH
Monday, August 18, 2008
... c a p t u r e ...
Nenek Dato
Perempuan tua yang luar biasa menginspirasiku bagaimana menjalani hidup. Kokoh, gigih dan lembut.
Brotherhood
Ehmmm melihat "capture" ini membuatku sangat menginginkan memiliki NYA.. Romantisme yang indah.
Petani Perempuan
Tak sengaja "capture" ini membuatku jatuh cinta.. Saat perempuan ini menjemur gabah padinya.
Perempuan tua yang luar biasa menginspirasiku bagaimana menjalani hidup. Kokoh, gigih dan lembut.
Brotherhood
Ehmmm melihat "capture" ini membuatku sangat menginginkan memiliki NYA.. Romantisme yang indah.
Petani Perempuan
Tak sengaja "capture" ini membuatku jatuh cinta.. Saat perempuan ini menjemur gabah padinya.
Tuesday, August 05, 2008
Di tengah Hujan
04.00 p.m - Jeneponto, .. July 2008
.. Hujan rintik, mendung dan sedikit cahaya matahari menyembul
Aku telah berada di perhentian ojek di daerah Tanetea, Tamalatea –salah satu kecamatan di Kabupaten Jeneponto- hampir setengah jam karena menunggu hujan reda. Aku bisa saja menerobos hujan dan menaiki ojek yang setia menemaniku di halte reot -yang atapnya bocor disana sini- untuk pulang ke rumah –Desa Batusaraung- . Tapi dinginnya udara membuatku berpikir panjang, juga membayangkan seluruh tubuhku kebasahan. Walaupun hanya hujan rintik, tapi perjalanan sekitar 25 menit dapat membuatku basah dengan sukses.
Di bulan-bulan ini yang aku tahu seharusnya Jeneponto telah menjadi seperti gurun, tandus dan kering. Tapi tahun ini, curah hujan masih tinggi yang harusnya memasuki musim kemarau dimana sebagian tambak di daerah pesisir Jeneponto -Kecamatan Bangkala, Bangkala Barat, Tamalatea dan Arungkeke- dipenuhi kristal-kristal garam. Sepertinya tahun ini menjadi tahun yang berat bagi petambak garam karena iklim tak bersahabat.
Tukang ojekku –Daeng Ngangka- yang sedang asyik bersiul, mendendangkan lagu “mangkasara” kesukaannya dengan tiba-tiba terhenyak kaget setelah membaca pesan singkat di telepon genggamnya.
Ehmm aku menjadi was-was mendengarnya, memang bisa saja menimbulkan banjir besar mengingat sudah sejak pagi hujan rintik ini di Jeneponto. Salah saru daerah yang rawan terkena banjir adalah di Desa Ta’bing Jai, desa yang harus kulewati jika ingin sampai ke rumah.
Segera Daeng Ngangka mengeluarkan jas hujan dan diberikan kepadaku. Akhirnya aku pasrah juga kedinginan... Dari tempat perhentian ojek ke Desa Ta’bing Jai memakan waktu sekitar 10 menit, itu cukup membuatku kebasahan walau memakai jas pelindung hujan. Mendekati desa, sebelum jembatan besar Desa Ta’bing Jai aku melihat banyak pengendara telah memarkirkan kendaraan bermotornya dirumah-rumah penduduk.
Kuikuti langkah Daeng Ngangka yang sambil mendorong motor menuju rumah keluarganya ditengah hujan yang ukuran butirnya mulai membesar. Kurasakan hidungku mulai dingin seperti es... Humph... Fungsi hidungku mulai berkurang di kondisi seperti ini, hal yang sungguh menyiksa...
Aku menuju rumah yang tidak asing untukku, tidak saja karena jalan ini kulewati hampir tiap hari. Tapi, karena nenek tua yang mendiami rumah ini –yang selalu duduk di teras rumah panggungnya, ditempat yang sama dan di waktu yang sama, juga selalu tersenyum padaku ketika aku melintas-. Entahlah setiap momen itu membuatku merasa nenek itu tidak asing buatku, walau aku tak mengenalnya secara langsung.
Saat Daeng Ngangka memarkirkan motornya di bawah rumah panggung, aku disuruhnya untuk naik ke rumah terlebih dahulu, namun enggan kuturuti karena aku tak mengenal sang pemilik rumah. Aku berdiri di tangga rumah menunggu Daeng Ngangka. Halaman rumah ini luas, banyak sekali kulihat busut –longgok tanah sebagai tempat sarang semut- di antara ilalang Imperata cylindrica yang telah ditinggalkan pemiliknya karena guyuran hujan dan kemudian membuat jejeran menarik menuju tangga rumah panggung itu untuk mencari perlidungan. Di sudut halaman ada beberapa pohon asam Tamarindus indica, yang ukurannya lebih tinggi dari rumah panggung ini. Rumahnya tua, jauh lebih tua dari umur rumah panggung Nenek Dato. Semua dinding rumah terbuat dari seng, warna merah cat seng kusam dan banyak berlubang. Kayu penyangga rumah panggungnya juga banyak dimakan rayap, dan doyong ke arah kiri sehingga nampak tak kokoh.
Daeng Ngangka bergegas naik menuju rumah panggung, dan langsung membuka pintu yang tidak terkunci, aku setia berjalan di belakangnya hingga di dalam rumah. Aku disuruhnya menunggu di ruangan depan sembari ia mengambilkan kursi kayu untukku dari ruangan belakang -yang kucirikan itu adalah dapur, karena ada tungku perapian disana dan perabot masak lain yang telah berpuyan- dan mempersilahkan aku duduk. Di ruangan depan ini hanya ada beberapa foto tua lusuh yang tergantung dan tidak satu set kursi tamu –seperti di rumah kebanyakan -. Rumah panggung ini masih seperti gaya rumah panggung lama, tidak seperti kebanyakan sekarang yang tata letaknya seperti rumah batu modern. Rumahnya tanpa sekat dari ruang tamu hingga dapur, hal yang dapat mencirikan satu ruangan dinamakan ruang tamu, kamar atau dapur adalah dari perabotan yang ada. Itu saja. Sederhana sekali. Dan yang menyulitkan aku mencirikannya adalah perabotan rumah yang kurang.
Aku mendengar suara orang tua terbatuk-batuk dari balik tirai tipis tidak jauh dari ruangan yang kucirikan sebagai dapur. Daeng Ngangka menuju tempat itu, aku mendengarnya bercerita dengan seseorang disana, tak lama Daeng Ngangka keluar dengan orang tua yang kukenali. Yaaa Nenek tua itu. Senang sekali bisa melihatnya dari jarak sedekat ini. Wajahnya sumringah, tersenyum. Jalannya tertatih -mungkin karena penyakit tua dan postur badannya yang besar– ke arahku sambil berusaha menggulung untaian rambutnya yang putih dan tipis. Aku berdiri dan berjalan ke arahnya, tak tega melihatnya berjalan tertatih.
Nenek banyak bertutur tentang dirinya. Sudah hampir 3 tahun nenek sendiri dirumahnya, anak dan kerabat lainnya sesekali saja berkunjung. Untuk urusan makanan tiap harinya, ada keponakan yang tinggal tidak jauh dari rumahnya membawakan sekaligus menemani berbincang beberapa jam. Teduh melihatnya menggerakkan bibir dan melihat mimik mukanya.
Hampir sejam, aku asyik “mengobrol” dengan nenek sementara Daeng Ngangka tertidur pulas di anyaman bambu di sudut ruangan depan ini. Aku mempersilahkan nenek untuk istirahat, karena kondisinya yang sedang tidak sehat dan beranjak ke teras rumah untuk menunggu banjir reda dan Daeng Ngangka bangun. Landskap yang indah, tepat diseberang jalan ada ladang jagung yang hijau kekuningan dan kubangan tempat kerbau-kerbau dimandikan pengembalanya. Ups... muncul juga pelangi nan indah disana. Ehmmm aku jadi sering melihat pelangi semenjak tinggal di Jeneponto. * Tapi aku tak ingin engkau menjadi seperti pelangi itu, indah tapi hanya sesaat.. kok curhat
Akhirnya, setelah dua jam menunggu, banjir agak mereda dan kendaraan dapat melintasi desa. Berpamitan dengan Nenek dan mendapat sesuatu yang istimewa lagi hari ini..
.. Hujan rintik, mendung dan sedikit cahaya matahari menyembul
Aku telah berada di perhentian ojek di daerah Tanetea, Tamalatea –salah satu kecamatan di Kabupaten Jeneponto- hampir setengah jam karena menunggu hujan reda. Aku bisa saja menerobos hujan dan menaiki ojek yang setia menemaniku di halte reot -yang atapnya bocor disana sini- untuk pulang ke rumah –Desa Batusaraung- . Tapi dinginnya udara membuatku berpikir panjang, juga membayangkan seluruh tubuhku kebasahan. Walaupun hanya hujan rintik, tapi perjalanan sekitar 25 menit dapat membuatku basah dengan sukses.
Di bulan-bulan ini yang aku tahu seharusnya Jeneponto telah menjadi seperti gurun, tandus dan kering. Tapi tahun ini, curah hujan masih tinggi yang harusnya memasuki musim kemarau dimana sebagian tambak di daerah pesisir Jeneponto -Kecamatan Bangkala, Bangkala Barat, Tamalatea dan Arungkeke- dipenuhi kristal-kristal garam. Sepertinya tahun ini menjadi tahun yang berat bagi petambak garam karena iklim tak bersahabat.
Tukang ojekku –Daeng Ngangka- yang sedang asyik bersiul, mendendangkan lagu “mangkasara” kesukaannya dengan tiba-tiba terhenyak kaget setelah membaca pesan singkat di telepon genggamnya.
“Mesti ki inne liba-liba lampa karaeng, a’ba lompo sike’de mami na rapi ki jambatang Ta’bing Jai” .
“Kita harus cepat-cepat pergi, banjir besar sedikit lagi mendekati Jembatan Tab’ing Jai”.
Ehmm aku menjadi was-was mendengarnya, memang bisa saja menimbulkan banjir besar mengingat sudah sejak pagi hujan rintik ini di Jeneponto. Salah saru daerah yang rawan terkena banjir adalah di Desa Ta’bing Jai, desa yang harus kulewati jika ingin sampai ke rumah.
Segera Daeng Ngangka mengeluarkan jas hujan dan diberikan kepadaku. Akhirnya aku pasrah juga kedinginan... Dari tempat perhentian ojek ke Desa Ta’bing Jai memakan waktu sekitar 10 menit, itu cukup membuatku kebasahan walau memakai jas pelindung hujan. Mendekati desa, sebelum jembatan besar Desa Ta’bing Jai aku melihat banyak pengendara telah memarkirkan kendaraan bermotornya dirumah-rumah penduduk.
“Iiii tala’ ki Karaeng, a’ba mi ri dallekang”
“Kita sudah terlamabat, banjir sudah ada di depan”
“Jari, tingkamma maki inne”
“Jadi bagaimana dengan kita?”
“Naung maki rolo Karaeng, nia’ ballana bijangku kantumae. Kanjo maki tayang sanggena mari a’bayya”
“Turun saja dulu, ada rumah keluarga saya disebelah situ. Disana saja kita menunggu sampai banjir berhenti”
Kuikuti langkah Daeng Ngangka yang sambil mendorong motor menuju rumah keluarganya ditengah hujan yang ukuran butirnya mulai membesar. Kurasakan hidungku mulai dingin seperti es... Humph... Fungsi hidungku mulai berkurang di kondisi seperti ini, hal yang sungguh menyiksa...
Aku menuju rumah yang tidak asing untukku, tidak saja karena jalan ini kulewati hampir tiap hari. Tapi, karena nenek tua yang mendiami rumah ini –yang selalu duduk di teras rumah panggungnya, ditempat yang sama dan di waktu yang sama, juga selalu tersenyum padaku ketika aku melintas-. Entahlah setiap momen itu membuatku merasa nenek itu tidak asing buatku, walau aku tak mengenalnya secara langsung.
Saat Daeng Ngangka memarkirkan motornya di bawah rumah panggung, aku disuruhnya untuk naik ke rumah terlebih dahulu, namun enggan kuturuti karena aku tak mengenal sang pemilik rumah. Aku berdiri di tangga rumah menunggu Daeng Ngangka. Halaman rumah ini luas, banyak sekali kulihat busut –longgok tanah sebagai tempat sarang semut- di antara ilalang Imperata cylindrica yang telah ditinggalkan pemiliknya karena guyuran hujan dan kemudian membuat jejeran menarik menuju tangga rumah panggung itu untuk mencari perlidungan. Di sudut halaman ada beberapa pohon asam Tamarindus indica, yang ukurannya lebih tinggi dari rumah panggung ini. Rumahnya tua, jauh lebih tua dari umur rumah panggung Nenek Dato. Semua dinding rumah terbuat dari seng, warna merah cat seng kusam dan banyak berlubang. Kayu penyangga rumah panggungnya juga banyak dimakan rayap, dan doyong ke arah kiri sehingga nampak tak kokoh.
Daeng Ngangka bergegas naik menuju rumah panggung, dan langsung membuka pintu yang tidak terkunci, aku setia berjalan di belakangnya hingga di dalam rumah. Aku disuruhnya menunggu di ruangan depan sembari ia mengambilkan kursi kayu untukku dari ruangan belakang -yang kucirikan itu adalah dapur, karena ada tungku perapian disana dan perabot masak lain yang telah berpuyan- dan mempersilahkan aku duduk. Di ruangan depan ini hanya ada beberapa foto tua lusuh yang tergantung dan tidak satu set kursi tamu –seperti di rumah kebanyakan -. Rumah panggung ini masih seperti gaya rumah panggung lama, tidak seperti kebanyakan sekarang yang tata letaknya seperti rumah batu modern. Rumahnya tanpa sekat dari ruang tamu hingga dapur, hal yang dapat mencirikan satu ruangan dinamakan ruang tamu, kamar atau dapur adalah dari perabotan yang ada. Itu saja. Sederhana sekali. Dan yang menyulitkan aku mencirikannya adalah perabotan rumah yang kurang.
Aku mendengar suara orang tua terbatuk-batuk dari balik tirai tipis tidak jauh dari ruangan yang kucirikan sebagai dapur. Daeng Ngangka menuju tempat itu, aku mendengarnya bercerita dengan seseorang disana, tak lama Daeng Ngangka keluar dengan orang tua yang kukenali. Yaaa Nenek tua itu. Senang sekali bisa melihatnya dari jarak sedekat ini. Wajahnya sumringah, tersenyum. Jalannya tertatih -mungkin karena penyakit tua dan postur badannya yang besar– ke arahku sambil berusaha menggulung untaian rambutnya yang putih dan tipis. Aku berdiri dan berjalan ke arahnya, tak tega melihatnya berjalan tertatih.
Nenek banyak bertutur tentang dirinya. Sudah hampir 3 tahun nenek sendiri dirumahnya, anak dan kerabat lainnya sesekali saja berkunjung. Untuk urusan makanan tiap harinya, ada keponakan yang tinggal tidak jauh dari rumahnya membawakan sekaligus menemani berbincang beberapa jam. Teduh melihatnya menggerakkan bibir dan melihat mimik mukanya.
Hampir sejam, aku asyik “mengobrol” dengan nenek sementara Daeng Ngangka tertidur pulas di anyaman bambu di sudut ruangan depan ini. Aku mempersilahkan nenek untuk istirahat, karena kondisinya yang sedang tidak sehat dan beranjak ke teras rumah untuk menunggu banjir reda dan Daeng Ngangka bangun. Landskap yang indah, tepat diseberang jalan ada ladang jagung yang hijau kekuningan dan kubangan tempat kerbau-kerbau dimandikan pengembalanya. Ups... muncul juga pelangi nan indah disana. Ehmmm aku jadi sering melihat pelangi semenjak tinggal di Jeneponto. * Tapi aku tak ingin engkau menjadi seperti pelangi itu, indah tapi hanya sesaat.. kok curhat
Akhirnya, setelah dua jam menunggu, banjir agak mereda dan kendaraan dapat melintasi desa. Berpamitan dengan Nenek dan mendapat sesuatu yang istimewa lagi hari ini..
Thursday, July 17, 2008
Jeneponto Hari Ini
.... pelangi
Ada pelangi di sini hun. Indah sekali.. Spektrum cahaya yang luar biasa memikat, salah satu peristiwa di MAKROKOSMOS yang sangat kucintai. Matahari, semua karena bantuannya kan.. Matahari bersinar ke atas titik air hujan yang jatuh sehingga sinar monokromatik menjadi 7 sinar polikromatik.
Pelangi itu indah.. Dan matahari yang menjadikannya indah. I want you be my SUN not my RAINBOW hun..
Posted from Vy's 7610
Ada pelangi di sini hun. Indah sekali.. Spektrum cahaya yang luar biasa memikat, salah satu peristiwa di MAKROKOSMOS yang sangat kucintai. Matahari, semua karena bantuannya kan.. Matahari bersinar ke atas titik air hujan yang jatuh sehingga sinar monokromatik menjadi 7 sinar polikromatik.
Pelangi itu indah.. Dan matahari yang menjadikannya indah. I want you be my SUN not my RAINBOW hun..
Posted from Vy's 7610
Tuesday, July 15, 2008
Miss Your Shoulder...
14 juli 2008 - 00.05 am
.....sadness
Terimakasih untuk ada malam ini, terimakasih untuk setiamu mendengarkan gelisah, gundah, dan desahku. Yang dalam menandakan betapa berat saat-saat ini kulewati... Entah apa itu, yang aku tahu hanyalah ini membuatku jatuh tersungkur di "bukau" asing yang jauh sekali hingga aku tak tahu dimana dapat kutemukan jalan pulang.. Engkau yang terbaik untuk saat-saat ini, seorang lelaki dengan label "sahabat baik".
.....sadness
Terimakasih untuk ada malam ini, terimakasih untuk setiamu mendengarkan gelisah, gundah, dan desahku. Yang dalam menandakan betapa berat saat-saat ini kulewati... Entah apa itu, yang aku tahu hanyalah ini membuatku jatuh tersungkur di "bukau" asing yang jauh sekali hingga aku tak tahu dimana dapat kutemukan jalan pulang.. Engkau yang terbaik untuk saat-saat ini, seorang lelaki dengan label "sahabat baik".
Wednesday, July 09, 2008
Romantisme bersama Nenek Dato
Jene'ponto - Sabtu 28 Juni 2008
.....gelap
Sudah hampir sebulan, di desaku -Batusaraung, Tamalatea- mendapat giliran pemadaman lampu jika menjelang magrib hingga selepas isya, sekitar jam 8 jadi bisa kurang atau lebih dari 2 jam.
Ditemani telepon genggamku -tampak tua- yang mengalunkan lagu-lagu ebiet g ade -......gemuruh ombak di pantai kuta sejuk lembut angin di bukit kintamani gadis-gadis kecil menjajakan cincin tak mampu mengusir kau yang manis....- juga segelas "black coffee" duduk di teras rumah panggung Nenek Dato - masih kokoh, walau telah berpuluh tahun umurnya -
Angin bermain-main, berlarian di antara daun-daun pohon mangga besar tepat di depan rumah Nenek Dato dan menimbulkan suara indah yang membuatku sangat merindukan pantai, iyaaa pantai.... Membayangkannya membuatku merinding. Aku sangat merindukannya. Really miss that moment.
Bintang-bintang terus bermain mata kepadaku, jumlahnya... entahlah... mungkin ratusan, ribuan, puluhan ribu atau... seperti jumlah rindunya seseorang yang tengah kasmaran dengan kekasihnya. INDAH!
Uhmmmm sejam berlalu... perasaan menjadi "masygul" juga. Entahlah, sendiri membuatku mengingat hal-hal yang seharusnya sejak dulu sudah kulupakan... Perasaan yang mengharimaukan jiwa.. huhhh.... dan mulai merindukan seseorang yang seharusnya tidak di rindukan.
Akhirnya, aku memilih tempat aman... Berbaring di samping Nenek Dato dan menjadi teman bercerita yang menyenangkan -entry MANGKASARA zone- :). Sejak menetap di desa ini -serumah dengan Nenek Dato- kerinduanku untuk mendapat buaian kasih seseorang Nenek terobati sudah. Berpuluh tahun....
Sinar redup lilin, rebah di "anyaman pandan", desir angin, dan suara "merdu" nenek menceritakan masa kecil Ummi dan sosok Almarhum Kakek serta sentuhan jari-jari tua Nenek Dato yang kasap di rambutku, membuatku terbuai, menidurkan segala resah jiwa. ROMANTIC MOMENT....
.....gelap
Sudah hampir sebulan, di desaku -Batusaraung, Tamalatea- mendapat giliran pemadaman lampu jika menjelang magrib hingga selepas isya, sekitar jam 8 jadi bisa kurang atau lebih dari 2 jam.
Ditemani telepon genggamku -tampak tua- yang mengalunkan lagu-lagu ebiet g ade -......gemuruh ombak di pantai kuta sejuk lembut angin di bukit kintamani gadis-gadis kecil menjajakan cincin tak mampu mengusir kau yang manis....- juga segelas "black coffee" duduk di teras rumah panggung Nenek Dato - masih kokoh, walau telah berpuluh tahun umurnya -
Angin bermain-main, berlarian di antara daun-daun pohon mangga besar tepat di depan rumah Nenek Dato dan menimbulkan suara indah yang membuatku sangat merindukan pantai, iyaaa pantai.... Membayangkannya membuatku merinding. Aku sangat merindukannya. Really miss that moment.
Bintang-bintang terus bermain mata kepadaku, jumlahnya... entahlah... mungkin ratusan, ribuan, puluhan ribu atau... seperti jumlah rindunya seseorang yang tengah kasmaran dengan kekasihnya. INDAH!
Uhmmmm sejam berlalu... perasaan menjadi "masygul" juga. Entahlah, sendiri membuatku mengingat hal-hal yang seharusnya sejak dulu sudah kulupakan... Perasaan yang mengharimaukan jiwa.. huhhh.... dan mulai merindukan seseorang yang seharusnya tidak di rindukan.
Akhirnya, aku memilih tempat aman... Berbaring di samping Nenek Dato dan menjadi teman bercerita yang menyenangkan -entry MANGKASARA zone- :). Sejak menetap di desa ini -serumah dengan Nenek Dato- kerinduanku untuk mendapat buaian kasih seseorang Nenek terobati sudah. Berpuluh tahun....
Sinar redup lilin, rebah di "anyaman pandan", desir angin, dan suara "merdu" nenek menceritakan masa kecil Ummi dan sosok Almarhum Kakek serta sentuhan jari-jari tua Nenek Dato yang kasap di rambutku, membuatku terbuai, menidurkan segala resah jiwa. ROMANTIC MOMENT....
Saturday, July 05, 2008
Monday, June 02, 2008
Di Angkutan Umum Itu...
Uhhhmp... akhirnya BACK TO THE CITY, Kembali dapat merasakan betapa nikmatnya ber-internet ria, menjelajahi dunia dan kembali bisa berinteraksi dengan kawan-kawan yang nun jauh di sana.
Yang ada untuk mengisi blog ini -yang jarang sekali di update, hanya pada saat aku mendapatkan jaringan internet- adalah tetap cerita keseharian ku di pelosok desa di Kabupaten Jeneponto. Cerita yang setiap harinya berbeda dan menarik. Cerita yang kadang kukemas menjadi oleh-oleh indah untuk Ummi dan Abah, yang membuat Ummi dan Abah tersenyum indah. Sepertinya bukan karena cerita ku, tapi karena caraku beradaptasi terhadap lingkungan baru yang sama sekali berbeda dari kehidupan-kehidupanku sebelumnya. Tapi itu bisa membuat ku bangga pada diriku sendiri, bertambah lagi momen-momen pembuktian diriku pada orang tua kalau anak semata wayang pun bisa menjadi mandiri.
Pekan ini cukup menyenangkan buatku, sekali lagi kudapatkan pengalaman-pengalaman istimewa dari perjalananku. Di pagi itu, masih dengan ojek langganan menuju ke perhentian angkutan umum di jalan poros kabupaten. Cerah sekali, dengan pemandangan khas pedesaan, orang-orang menuju ke ladang, bukan lagi menanam atau memanen padi -karena musimnya sudah lewat- tetapi untuk mengisi ladang mereka dengan memanen jagung di musim kedua ini. Asyik sekali memandangi keserasian alam pagi ini, embun pagi di ilalang yang hijau segar, anak-anak gembala tertawa riang bersama kuda dan kerbau mereka serta senandung indah -lagu mangkasara- dari mulut tukang ojekku... Lengkap sudah pagi ini. INDAH.
Sesampai di perhentian angkutan umum, tak lama aku harus menunggu. Tidak jika matahari akan tenggelam -aku bisa menunggu hampir sejam-, angkutan umum di setiap pagi tak sulit karena akomodasi utama yang digunakan pedagang yang menuju pasar besar Kota Jeneponto di daerah ibukota kabupaten.
Humphhh, angkutan umum yang kunaiki pagi ini luar biasa sesaknya dan aroma yang bercampur aduk. Lengkap macam-macam pedagang di dalamnya. Pedagang sayuran, pedagang beras dan pedagang ikan. Pedagang ikan itu tepat di depanku, dengan tiga keranjang penuh ikan basahnya. Syukurnya aku terlatih untuk mencium bau amis itu sejak kuliah dulu serta cara mengatasi agar tak membuat mual.. Kalau tidak mungkin semua sarapanku pagi ini akan kumuntahkan keluar. Percakapan menarik terjadi diantara pedagang-pedagang itu, mulai dari persoalan pribadi, kenaikan BBM, harga bahan-bahan pokok di pasar serta kompetisi pencarian bintang dangdut baru KDI. Emosi dan kepolosan bercerita serta penggunaan bahasa mangkasara –yang kadang-kadang terlalu kasar kedengarannya- membuat ekspresi mereka ISTIMEWA buatku.
Tiba-tiba Ibu pedagang ikan menegur dan menanyakan tempat tinggal ku, saatnya kupergunakan bahasa mangkasaraku yang masih dalam taraf belajar ini. Percakapan selanjutnya adalah tentang silsilah keluarga –salah satu kebiasaan orang makassar yang mungkin di beberapa daerah lain juga seperti itu, alasan utamanya yaitu untuk mengetahui apakah termasuk anggota keluarga atau tidak- akhirnya membawa percakapn jadi “nyambung banget”. Ternyata walau hubungan kekerabatan yang sudah sangat jauh, tapi bagi orang-orang di daerahku “berarti” sekali. Sesaat sebelum aku sampai di tempat perhentianku –menuju kantor- Ibu pedagang ikan mengambil kantong plastik ukuran besar dan memenuhinya dengan ikan segera diberikannya kepadaku. RAMAH SEKALI. Tapi masalahnya adalah aku sedang dalam perjalanan menuju kantor dan bukan perjalanan pulang dari kantor. Jadilah hari itu aku membawa sekantong ikan ke kantor sampai jam pulang. Hehe pengalaman luar biasa lagi kudapatkan dan menjadi koleksi bunga-bunga hidupku.
Yang ada untuk mengisi blog ini -yang jarang sekali di update, hanya pada saat aku mendapatkan jaringan internet- adalah tetap cerita keseharian ku di pelosok desa di Kabupaten Jeneponto. Cerita yang setiap harinya berbeda dan menarik. Cerita yang kadang kukemas menjadi oleh-oleh indah untuk Ummi dan Abah, yang membuat Ummi dan Abah tersenyum indah. Sepertinya bukan karena cerita ku, tapi karena caraku beradaptasi terhadap lingkungan baru yang sama sekali berbeda dari kehidupan-kehidupanku sebelumnya. Tapi itu bisa membuat ku bangga pada diriku sendiri, bertambah lagi momen-momen pembuktian diriku pada orang tua kalau anak semata wayang pun bisa menjadi mandiri.
Pekan ini cukup menyenangkan buatku, sekali lagi kudapatkan pengalaman-pengalaman istimewa dari perjalananku. Di pagi itu, masih dengan ojek langganan menuju ke perhentian angkutan umum di jalan poros kabupaten. Cerah sekali, dengan pemandangan khas pedesaan, orang-orang menuju ke ladang, bukan lagi menanam atau memanen padi -karena musimnya sudah lewat- tetapi untuk mengisi ladang mereka dengan memanen jagung di musim kedua ini. Asyik sekali memandangi keserasian alam pagi ini, embun pagi di ilalang yang hijau segar, anak-anak gembala tertawa riang bersama kuda dan kerbau mereka serta senandung indah -lagu mangkasara- dari mulut tukang ojekku... Lengkap sudah pagi ini. INDAH.
Sesampai di perhentian angkutan umum, tak lama aku harus menunggu. Tidak jika matahari akan tenggelam -aku bisa menunggu hampir sejam-, angkutan umum di setiap pagi tak sulit karena akomodasi utama yang digunakan pedagang yang menuju pasar besar Kota Jeneponto di daerah ibukota kabupaten.
Humphhh, angkutan umum yang kunaiki pagi ini luar biasa sesaknya dan aroma yang bercampur aduk. Lengkap macam-macam pedagang di dalamnya. Pedagang sayuran, pedagang beras dan pedagang ikan. Pedagang ikan itu tepat di depanku, dengan tiga keranjang penuh ikan basahnya. Syukurnya aku terlatih untuk mencium bau amis itu sejak kuliah dulu serta cara mengatasi agar tak membuat mual.. Kalau tidak mungkin semua sarapanku pagi ini akan kumuntahkan keluar. Percakapan menarik terjadi diantara pedagang-pedagang itu, mulai dari persoalan pribadi, kenaikan BBM, harga bahan-bahan pokok di pasar serta kompetisi pencarian bintang dangdut baru KDI. Emosi dan kepolosan bercerita serta penggunaan bahasa mangkasara –yang kadang-kadang terlalu kasar kedengarannya- membuat ekspresi mereka ISTIMEWA buatku.
Tiba-tiba Ibu pedagang ikan menegur dan menanyakan tempat tinggal ku, saatnya kupergunakan bahasa mangkasaraku yang masih dalam taraf belajar ini. Percakapan selanjutnya adalah tentang silsilah keluarga –salah satu kebiasaan orang makassar yang mungkin di beberapa daerah lain juga seperti itu, alasan utamanya yaitu untuk mengetahui apakah termasuk anggota keluarga atau tidak- akhirnya membawa percakapn jadi “nyambung banget”. Ternyata walau hubungan kekerabatan yang sudah sangat jauh, tapi bagi orang-orang di daerahku “berarti” sekali. Sesaat sebelum aku sampai di tempat perhentianku –menuju kantor- Ibu pedagang ikan mengambil kantong plastik ukuran besar dan memenuhinya dengan ikan segera diberikannya kepadaku. RAMAH SEKALI. Tapi masalahnya adalah aku sedang dalam perjalanan menuju kantor dan bukan perjalanan pulang dari kantor. Jadilah hari itu aku membawa sekantong ikan ke kantor sampai jam pulang. Hehe pengalaman luar biasa lagi kudapatkan dan menjadi koleksi bunga-bunga hidupku.
Wednesday, May 07, 2008
Monday, April 28, 2008
Capture Of Me
Posting kali ini agak sedikit "narsis"... tapi yang Vy suka adalah momen nya. But Sometimes i have to publicate my self, right? Gak tau, akhir-akhir ini Vy lebih suka mengedit foto dengan themes "oldies" like sephia tone dengan sharpen tinggi... I really like the tone...
Nice Weekend
Akhir Pekan Sabtu – Minggu.
12 - 13April 2008
Selepas subuh –Sabtu- seperti biasa aku asyik menikmati "Black Coffea" hangat di teras rumah panggung Nenek Dato –rutinitas yang selalu kulakukan di tiap akhir pekan jika menetap di sini dan tidak ke kota Makassar-. Duri-duri dari dingin pagi itu menusuk hingga ke tulang, menggigit -selalu seperti itu di tiap musim pancaroba, dinginnya luar biasa kata Nenek Dato-. Tapi pemandangan aktifitas pagi hari di pelosok desa -Jeneponto- ini terlalu menarik untuk dilewati. Apalagi pada hari pasar seperti ini dan musim panen Jagung dan Padi. Aktifitas masyarakat yang akan pergi ke pasar atau untuk pergi ke ladang dan sawah di pagi buta ini.
Bulu kudukku tiba-tiba merinding –bukan karena dingin tadi- tapi karena pemandangan yang tiba-tiba tersaji di hadapanku. Satu keluarga petani –lengkap- dengan peralatan bertani dan rantang makanan yang tampak usang –yang di dalamnya terdapat bekal makanan-. Sang ayah memimpin ekspedisi sambil menuntun 2 kuda di belakangnya, Ibu menggendong anak paling bungsu –perkiraanku sekitar 4 tahun-, dan dua kakak si bungsu di belakangnya, keduanya mendapat tugas membawa rantang usang itu dan ember besar berisi air minum. Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka tentang pengalaman sang Ayah kemudian diikuti tawa anggota keluarganya. MESRA sekali. Sekali lagi aku merinding, senyum lebarku tak tahan untuk terus di kulum dan perasaan iriku tak terbendung... Ehmmm... Lagi, aku mendapatkan momen indah.
Nenek Dato datang dan duduk tepat disampingku dengan segelas teh ditangannya. Pembicaraan dalam bahasa “Mangkasara” pun terjadi –lagi, kebisaanku bahasa Mangkasara di latih he2-. Nenek dato berbicara panjang lebar tentang adat istiadat dan akhirnya tentang berapa luas sawah yang Nenek Dato miliki. Diterangkan begitu jelas dimana lokasinya kepadaku, humph... entah untuk apa, tapi sedikit membantuku mengurangi kebutaanku soal lokasi-lokasi kampung di pelosok Jeneponto ini.
Ajakan menarik datang dari Nenek Dato. Karena padi Nenek Dato juga telah memasuki masa panennya, aku diajak untuk jalan-jalan ke sawah dan melihat proses panen itu. Tawaran yang sangat sayang untuk dilewati. Aku sudah sering melihatnya di televisi atau di buku-buku cerita anak-anak tentang “memanen padi” tapi untuk melihat langsung dan mencoba sama sekali pemgalaman baru. Kata Nenek Dato aku "WAJIB" memakai baju lengan panjang, kaus kaki, penutup mulut agar nanti tidak di serang gatal-gatal karena terkena gabah padi atau digigit binatang-binatang kecil yang gatal.
Tak butuh waktu lama untuk bersiap-siap diri, juga tak butuh mandi pagi dulu sebelum pergi ke sawah, toh akan kotor juga setelahnya... Sepanjang perjalanan menuju sawah Nenek Dato, aku melewati banyak sawah yang juga telah tiba masa panennya. Aku bertemu dengan keluarga –lengkap- tadi sedang mengerjakan salah satu sawah Nenek Dato. Mereka adalah keluarga yang dipercayakan untuk mengurus sawah Nenek Dato dengan sistem bagi hasil. Banyak juga keluarga lain yang mengerjakan sawah di sebelah Nenek Dato, rata-rata mereka adalah keluarga yang tinggal sekampung denganku jadi tawaran untuk singgah dan menyantap makan siang di sawah dengan lauk dan sayur "fresh" di masak di sawah sahut menyahut... Ehmmm gawat juga, kalau tawaran semuanya diladeni badan ku yang sebelumnya sudah "bengkak" tampaknya akan menjadi tambah "bengkak" he2... Dengan sopan -seperti ajaran Nenek Dato- aku selalu berkata "Terimakasih Karaeng" -kata penolakan yang paling sopan-.
Sesampai di sawah, bekal "sabit" yang diberikan Nenek Dato langsung aku gunakan untuk belajar mengait padi -dengan arahan sepupu- yang menguning. Tidak susah, tapi harus tetap hati-hati jangan sampai sabit yang tajam itu sampai mengenai tangan, bisa terputus katanya. Sekali dan dua kali masih terlalu kaku tapi setelahnya semuanya jadi lancar.... Beres! Nenek Dato yang sedang mengamati duduk di bawah pohon asam tertawa terbahak-bahak melihat kekakuanku. Nenek Dato di usianya sudah tidak mungkin untuk terjun langsung memanen padi, jadi menyerahkan segala urusan persawahan kepada orang yang telah dipercaya.
Waktu yang biasa di habiskan untuk memanen padi di satu sawah adalah dua hari. Hari pertama digunakan untuk mengait batang-batang padi, dan hari kedua untuk memisahkan butir-butir padi (gabah) dari tangkainya. Dua hari juga aku ikut dengan Nenek Dato ke sawahnya. Humphhh... ku hitung hanya sekitar 8 jam dalam 2 hari yang kuhabiskan untuk sekedar belajar semuanya, tapi rasanya ingin remuk saja semua badanku. Bisa kubayangkan mereka yang menghabiskan 10 jam sehari dalam seminggu atau satu bulan... Menurutku itulah hidup, terus berjuang untuk sesuatu yang lebih baik.
Lagi, selalu ada momen-momen indah untuk ku “CAPTURE”. Indah, entahlah apakah indah juga dari sisi “FOTOGRAFI”.
Pict 1. Pict 2.Pict 3.12 - 13April 2008
Selepas subuh –Sabtu- seperti biasa aku asyik menikmati "Black Coffea" hangat di teras rumah panggung Nenek Dato –rutinitas yang selalu kulakukan di tiap akhir pekan jika menetap di sini dan tidak ke kota Makassar-. Duri-duri dari dingin pagi itu menusuk hingga ke tulang, menggigit -selalu seperti itu di tiap musim pancaroba, dinginnya luar biasa kata Nenek Dato-. Tapi pemandangan aktifitas pagi hari di pelosok desa -Jeneponto- ini terlalu menarik untuk dilewati. Apalagi pada hari pasar seperti ini dan musim panen Jagung dan Padi. Aktifitas masyarakat yang akan pergi ke pasar atau untuk pergi ke ladang dan sawah di pagi buta ini.
Bulu kudukku tiba-tiba merinding –bukan karena dingin tadi- tapi karena pemandangan yang tiba-tiba tersaji di hadapanku. Satu keluarga petani –lengkap- dengan peralatan bertani dan rantang makanan yang tampak usang –yang di dalamnya terdapat bekal makanan-. Sang ayah memimpin ekspedisi sambil menuntun 2 kuda di belakangnya, Ibu menggendong anak paling bungsu –perkiraanku sekitar 4 tahun-, dan dua kakak si bungsu di belakangnya, keduanya mendapat tugas membawa rantang usang itu dan ember besar berisi air minum. Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka tentang pengalaman sang Ayah kemudian diikuti tawa anggota keluarganya. MESRA sekali. Sekali lagi aku merinding, senyum lebarku tak tahan untuk terus di kulum dan perasaan iriku tak terbendung... Ehmmm... Lagi, aku mendapatkan momen indah.
Nenek Dato datang dan duduk tepat disampingku dengan segelas teh ditangannya. Pembicaraan dalam bahasa “Mangkasara” pun terjadi –lagi, kebisaanku bahasa Mangkasara di latih he2-. Nenek dato berbicara panjang lebar tentang adat istiadat dan akhirnya tentang berapa luas sawah yang Nenek Dato miliki. Diterangkan begitu jelas dimana lokasinya kepadaku, humph... entah untuk apa, tapi sedikit membantuku mengurangi kebutaanku soal lokasi-lokasi kampung di pelosok Jeneponto ini.
Ajakan menarik datang dari Nenek Dato. Karena padi Nenek Dato juga telah memasuki masa panennya, aku diajak untuk jalan-jalan ke sawah dan melihat proses panen itu. Tawaran yang sangat sayang untuk dilewati. Aku sudah sering melihatnya di televisi atau di buku-buku cerita anak-anak tentang “memanen padi” tapi untuk melihat langsung dan mencoba sama sekali pemgalaman baru. Kata Nenek Dato aku "WAJIB" memakai baju lengan panjang, kaus kaki, penutup mulut agar nanti tidak di serang gatal-gatal karena terkena gabah padi atau digigit binatang-binatang kecil yang gatal.
Tak butuh waktu lama untuk bersiap-siap diri, juga tak butuh mandi pagi dulu sebelum pergi ke sawah, toh akan kotor juga setelahnya... Sepanjang perjalanan menuju sawah Nenek Dato, aku melewati banyak sawah yang juga telah tiba masa panennya. Aku bertemu dengan keluarga –lengkap- tadi sedang mengerjakan salah satu sawah Nenek Dato. Mereka adalah keluarga yang dipercayakan untuk mengurus sawah Nenek Dato dengan sistem bagi hasil. Banyak juga keluarga lain yang mengerjakan sawah di sebelah Nenek Dato, rata-rata mereka adalah keluarga yang tinggal sekampung denganku jadi tawaran untuk singgah dan menyantap makan siang di sawah dengan lauk dan sayur "fresh" di masak di sawah sahut menyahut... Ehmmm gawat juga, kalau tawaran semuanya diladeni badan ku yang sebelumnya sudah "bengkak" tampaknya akan menjadi tambah "bengkak" he2... Dengan sopan -seperti ajaran Nenek Dato- aku selalu berkata "Terimakasih Karaeng" -kata penolakan yang paling sopan-.
Sesampai di sawah, bekal "sabit" yang diberikan Nenek Dato langsung aku gunakan untuk belajar mengait padi -dengan arahan sepupu- yang menguning. Tidak susah, tapi harus tetap hati-hati jangan sampai sabit yang tajam itu sampai mengenai tangan, bisa terputus katanya. Sekali dan dua kali masih terlalu kaku tapi setelahnya semuanya jadi lancar.... Beres! Nenek Dato yang sedang mengamati duduk di bawah pohon asam tertawa terbahak-bahak melihat kekakuanku. Nenek Dato di usianya sudah tidak mungkin untuk terjun langsung memanen padi, jadi menyerahkan segala urusan persawahan kepada orang yang telah dipercaya.
Waktu yang biasa di habiskan untuk memanen padi di satu sawah adalah dua hari. Hari pertama digunakan untuk mengait batang-batang padi, dan hari kedua untuk memisahkan butir-butir padi (gabah) dari tangkainya. Dua hari juga aku ikut dengan Nenek Dato ke sawahnya. Humphhh... ku hitung hanya sekitar 8 jam dalam 2 hari yang kuhabiskan untuk sekedar belajar semuanya, tapi rasanya ingin remuk saja semua badanku. Bisa kubayangkan mereka yang menghabiskan 10 jam sehari dalam seminggu atau satu bulan... Menurutku itulah hidup, terus berjuang untuk sesuatu yang lebih baik.
Lagi, selalu ada momen-momen indah untuk ku “CAPTURE”. Indah, entahlah apakah indah juga dari sisi “FOTOGRAFI”.
Sunday, April 06, 2008
Di Ladang Jagung...
Kamis, 27 Maret 2008...
Hari ini tak ada niat untuk ke kantor. Ehmm sudah di niatkan sih dari hari sebelumnya, karena ada tawaran menarik dari tante untuk jalan-jalan ke ladang jagungnya karena sudah tiba masa panennya. Kesempatan baik untuk memvariasikan rutinas -perjalanan 30 km pulang pergi rumah dan kantor- . Alasan lainnya yaitu aku ingin sekali mendapatkan pemandangan pegunungan dengan hijau terhampar sekaligus "hunting foto", rasanya lama sekali tidak menjalankan hobi satu ku ini. Sekarang, rasanya tak ada yang indah dari hasil "jepretanku", HERAN! Apa karena sudah terlalu lama tidak melakukan aktifitas ini.
Pagi sekali, tepat setelah selesai melakukan sholat Subuh segala persiapan telah dilakukan tante untuk menuju ke ladang. Semua yang menyangkut perut harus utama bukan? he2. Aku, menyiapkan teh hangat untuk kubawa, dua bungkus kopi instant, buku bacaan, dan kamera pocket ku.. Lengkap! Setelahnya tinggal menyiapkan tenaga menuju ladang yang di atas bukit kurang lebih 6 km.
Pengalaman menarik buatku, belajar memanen jagung. Berjalan di tengah-tengah pohon jagung mengambil tongkol jagung ditengah rerumputan yang tingginya melebihi manusia bukan hal yang gampang. Resikonya, ya bertemu dengan makhluk-makhluk aneh, gatal-gatal diseluruh badan karena bulu-bulu halus jagung kuning, dan hitam karena begitu panasnya matahari menyengat kulit. Menyenangkan sekali untuk aku, yang ini adalah pengalaman pertama. Pelajaran selanjutnya adalah mengupas kulit jagung dan memipil bijinya. Mudah memang, tapi hasil yang di dapat setelahnya adalah pegal luar biasa di jari-jari tangan dan itu terjadi padaku. Jaminan 48 jam, sakitnya tak hilang. He2.
Aku sering sekali mendengar cerita dari Ummi, Abah atau dari sepupu-sepupu ku kalau menikmati makan siang di ladang atau sawah adalah hal yang luar biasa nikmatnya. Apapun lauknya semua terasa nikmat. Itu yang aku buktikan di perjalananku ini. Hasilnya, ehmm memang nikmat luar biasa, walaupun hanya dengan lauk ikan bandeng kuah santan dan ikan goreng serta sayung kacang hijau dicampur daun kelor segar yang langsung diambil dari ladang. Benar, jauh melewati nikmatnya makanan mahal. Ditambah dengan suasana pedesaan, pemandangan hijau ladang dan persawahan dan duduk di bale-bale, tepat di tengah ladang jagung. Ahhhhh suangguh luar biasa.
Pict 1:Pict 2:Pict 3:
Pict 4:Pict 5:
Pict 6:Waktu tak terasa terus berjalan, dihabiskan di tengah ladang jagung. Berkumpul bersama sepupu, tante dan om dan candaan menarik. Hampir magrib, aku dan yang lainnya meninggalkan ladang jagung itu. Kembali ke rutinitasku...
Hari ini tak ada niat untuk ke kantor. Ehmm sudah di niatkan sih dari hari sebelumnya, karena ada tawaran menarik dari tante untuk jalan-jalan ke ladang jagungnya karena sudah tiba masa panennya. Kesempatan baik untuk memvariasikan rutinas -perjalanan 30 km pulang pergi rumah dan kantor- . Alasan lainnya yaitu aku ingin sekali mendapatkan pemandangan pegunungan dengan hijau terhampar sekaligus "hunting foto", rasanya lama sekali tidak menjalankan hobi satu ku ini. Sekarang, rasanya tak ada yang indah dari hasil "jepretanku", HERAN! Apa karena sudah terlalu lama tidak melakukan aktifitas ini.
Pagi sekali, tepat setelah selesai melakukan sholat Subuh segala persiapan telah dilakukan tante untuk menuju ke ladang. Semua yang menyangkut perut harus utama bukan? he2. Aku, menyiapkan teh hangat untuk kubawa, dua bungkus kopi instant, buku bacaan, dan kamera pocket ku.. Lengkap! Setelahnya tinggal menyiapkan tenaga menuju ladang yang di atas bukit kurang lebih 6 km.
Pengalaman menarik buatku, belajar memanen jagung. Berjalan di tengah-tengah pohon jagung mengambil tongkol jagung ditengah rerumputan yang tingginya melebihi manusia bukan hal yang gampang. Resikonya, ya bertemu dengan makhluk-makhluk aneh, gatal-gatal diseluruh badan karena bulu-bulu halus jagung kuning, dan hitam karena begitu panasnya matahari menyengat kulit. Menyenangkan sekali untuk aku, yang ini adalah pengalaman pertama. Pelajaran selanjutnya adalah mengupas kulit jagung dan memipil bijinya. Mudah memang, tapi hasil yang di dapat setelahnya adalah pegal luar biasa di jari-jari tangan dan itu terjadi padaku. Jaminan 48 jam, sakitnya tak hilang. He2.
Aku sering sekali mendengar cerita dari Ummi, Abah atau dari sepupu-sepupu ku kalau menikmati makan siang di ladang atau sawah adalah hal yang luar biasa nikmatnya. Apapun lauknya semua terasa nikmat. Itu yang aku buktikan di perjalananku ini. Hasilnya, ehmm memang nikmat luar biasa, walaupun hanya dengan lauk ikan bandeng kuah santan dan ikan goreng serta sayung kacang hijau dicampur daun kelor segar yang langsung diambil dari ladang. Benar, jauh melewati nikmatnya makanan mahal. Ditambah dengan suasana pedesaan, pemandangan hijau ladang dan persawahan dan duduk di bale-bale, tepat di tengah ladang jagung. Ahhhhh suangguh luar biasa.
Pict 1:Pict 2:Pict 3:
Pict 4:Pict 5:
Pict 6:Waktu tak terasa terus berjalan, dihabiskan di tengah ladang jagung. Berkumpul bersama sepupu, tante dan om dan candaan menarik. Hampir magrib, aku dan yang lainnya meninggalkan ladang jagung itu. Kembali ke rutinitasku...
Saturday, April 05, 2008
Melepas Kangen...
Sebulan lebih tidak mengupdate blog ini... Kangen sekali rasanya... Kesibukan luar biasa (sibuk??!!) he2 sedikit sibuk kok, akhirnya tidak bisa lebih sering ke Makassar dan mendapatkan akses internet. Alhamdulillah semuanya berjalan baik di tiap-tiap harinya, juga berkembang dengan baik walaupun ada sedikit hambatan, tapi kan bukan hidup kalau di beberapa kali waktu per tapakan kaki hidup itu tak ada cela... Yang membuat aku semakin kuat menghadapi hidup...
Hampir 70 hari keberadaanku di pelosok desa ini, proses adaptasi menjadi salah satu bahan renunganku tiap tengah malam ketika mata akan terlelap. Apa yang telah aku lakukan hari ini, bagaimana sosialisasiku hari ini dengan orang-orang yang aku temui, apakah gaya bicaraku tidak dianggap "kurangajar", apakah tatapan mataku tidak dianggap terlalu meremehkan... Humph... Terlau banyak rasanya hal-hal... Juga sama halnya ketika aku di makassar, tapi disini semua menjadi EKSTRA. Semuanya harus dipikirkan dengan EKSTRA.
Sejak 7 tahun lalu -ketika aku meninggalkan tanah kelahiran tercinta dan hidup menetap di Makassar- "Nenek Dato" banyak bercerita tentang adat istiadat Makassar -terutama Jeneponto-. Tentang bagaimana harus bersikap ketika bersosialisasi dengan orang-orang Jeneponto -tempat kelahiran Ummi dan Abah-. Terutama ketika memanggil nama mereka apakah harus didahului dengan kata DAENG atau KARAENG. Humphhh... Hal yang sampai hari ini masih sulit untuk ku kerjakan, buat aku yang jarang "pulang kampung" dan menghabiskan 8 tahun "bergaul" di makassar dan lebih banyak menggunakan kata umum IBU atau BAPAK bukan DAENG atau KARAENG. Dan banyak lagi hal-hal yang saat ini harus betul-betul kupelajari dan kupraktekkan baik-baik, jika tidak ingin menjadi bahan pembicaraan di kampungku -pelosok desa di Jeneponto- atau bahkan menjadi pembicaraan lintas kampung he2..
Sampai saat ini, dalam proses belajarku menghadapi budaya, adat istiadat dan aturan hidup di pelosok desa Jeneponto, aku telah menemukan irama yang mulai asyik kujalani. Hariku semakin teratur untuk kujalani, dengan warna-warna menarik... Pagiku dimulai sangat pagi disini -jauh berbeda ketika di Makassar dulu- adzan mesjid yang berada tak jauh dari rumah panggung Nenek Dato menjadi alarm tanda bahwa aktifitasku mulai dikerjakan. Bangun pagi, kalau sempat dan tidak diserang oleh udara dingin yang menggigit tulang, aku berjalan ke masjid melakukan shalat Subuh. Setelahnya adalah bersiap-siap menuju kantor. Jam 7 tepat aku harus menunggu ojek ketempat perhentian angkutan umum.
Salah satu hal yang kusyukuri ketika harus menaiki ojek atau angkutan umum. Banyak mengenal orang baru setiap harinya, belajar bersosialisasi dengan bahasa daerah "MANGKASARA" -hal yang masih begitu ganjal bagiku-. Oh ya juga yang menjadi favoritku yaitu jika aku selalu bisa mendapatkan hal-hal menarik di sepanjang perjalananku untuk di "CAPTURE" menjadi hasil dari "HOBI FOTOGRAFI". Pernah suatu kali, siang hari, bayangkan saja siang hari di tengah pelosok desa Jeneponto yang luar biasa terkenal "PANASnya". Rasa panasnya menembus ke ubun-ubun kepalaku hingga menimbulkan sakit yang luar biasa -tak terhankan- hingga obrolan asyik sang tukang ojek tentang silsilah turunan Bangsawan di Jeneponto menjadi sangat membosankan untukku... Ketika kepalaku seperti ditusukkan oleh duri-duri kaktus, aku melihat keramaian di depanku. Tukang ojek memberhentikan motornya..
"Ngapa i karaeng?" (Ada apa Pak?)
Tanyaku kepada tukang ojek itu.
"Nia tau molong bembe Karaeng. Tau ni hakika kapang."
(Ada orang potong kambing. Orang acara aqiqah mungkin)
Jawabnya, sambil mendongakkan kepalanya untuk melihat lebih jelas.
"Naung a rong paleng di', ero' ka acciniki."
(Saya turun dulu kalau begitu, saya mau lihat)
Secepatnya kukeluarkan kamera dari dalam tasku. Menarik buatku.
Pict 1:Pict 2:Hidup... Hanya perlu dinikmati. Hal yang sekarang begitu kunikmati. Bahkan sangat kunikmati.
Tuesday, March 04, 2008
Kelaparan, Ibu Hamil dan Anaknya Tewas
01/03/2008 18:14 Kasus Kelaparan
Kelaparan, Ibu Hamil dan Anaknya Tewas
Liputan6.com, Makassar: Besse yang tengah hamil tujuh bulan bersama Bahir (lima tahun), anaknya, Sabtu (1/3), meninggal setelah menderita kelaparan akibat tiga hari tidak makan. Sedangkan Sari dan Aco, dua anak korban yang lain, masih bisa diselamatkan.
Belum ada pernyataan secara medis yang menjelaskan warga Jalan Daeng Tata I itu meninggal akibat kelaparan. Namun keterangan Aisyah, tetangga Besse, menguatkan kondisi ekonomi keluarga Basri, suami korban yang berprosesi sebagai tukang becak, memang sangat memprihatikan. Sebab untuk makan saja mereka terkadang harus meminta kepada tetangga.
Kusuma Wardani, ahli gizi Dinas Kesehatan Makassar, mengakui tewasnya Besse serta anaknya karena kelaparan sebagai preseden buruk. "Masalah kelaparan ini bukan hanya departemen kesehatan saja yang menanganinya, tetapi ada beberapa instansi terkait," kata dia. Yang pasti, kondisi ini sangat ironis dengan predikat Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan
Syamsu Rizal, anggota DPRD Kota Makassar yang menangani masalah kesejahteraan masyarakat, geram mendengar ada warga Makassar yang meninggal akibat kekurangan pangan. "Ini sebagai kejadian memalukan yang menjadi tamparan bagi pemerintah kota dan seluruh masyarakat Kota Makassar," tutur dia.
Syamsu menuding kasus ini diakibatkan tidak adanya koordinasi dari instansi-instansi yang menangani kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, dia bertekad akan segera membawa masalah ini ke rapat dewan. Sementara itu, jenazah Besse dan Bahir hari ini telah dipulangka ke kampung halamannya di Kabupaten Bantaeng untuk dimakamkan.(BOG/Iwan Taruna dan Rizal Randa)
Kelaparan, Ibu Hamil dan Anaknya Tewas
Liputan6.com, Makassar: Besse yang tengah hamil tujuh bulan bersama Bahir (lima tahun), anaknya, Sabtu (1/3), meninggal setelah menderita kelaparan akibat tiga hari tidak makan. Sedangkan Sari dan Aco, dua anak korban yang lain, masih bisa diselamatkan.
Belum ada pernyataan secara medis yang menjelaskan warga Jalan Daeng Tata I itu meninggal akibat kelaparan. Namun keterangan Aisyah, tetangga Besse, menguatkan kondisi ekonomi keluarga Basri, suami korban yang berprosesi sebagai tukang becak, memang sangat memprihatikan. Sebab untuk makan saja mereka terkadang harus meminta kepada tetangga.
Kusuma Wardani, ahli gizi Dinas Kesehatan Makassar, mengakui tewasnya Besse serta anaknya karena kelaparan sebagai preseden buruk. "Masalah kelaparan ini bukan hanya departemen kesehatan saja yang menanganinya, tetapi ada beberapa instansi terkait," kata dia. Yang pasti, kondisi ini sangat ironis dengan predikat Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan
Syamsu Rizal, anggota DPRD Kota Makassar yang menangani masalah kesejahteraan masyarakat, geram mendengar ada warga Makassar yang meninggal akibat kekurangan pangan. "Ini sebagai kejadian memalukan yang menjadi tamparan bagi pemerintah kota dan seluruh masyarakat Kota Makassar," tutur dia.
Syamsu menuding kasus ini diakibatkan tidak adanya koordinasi dari instansi-instansi yang menangani kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, dia bertekad akan segera membawa masalah ini ke rapat dewan. Sementara itu, jenazah Besse dan Bahir hari ini telah dipulangka ke kampung halamannya di Kabupaten Bantaeng untuk dimakamkan.(BOG/Iwan Taruna dan Rizal Randa)
Sunday, March 02, 2008
Begitu Sulit Untukku
Tinggal jauh dari keramaian kota memang jauh lebih menyenangkan -seperti yang aku tulis di postingan -Dia Berlari meninggalkanku-. Sungguh jauh dari kebisingan dan polusi udara kota. Tapi satu hal yang membuat aku agak kewalahan tuk tinggal di pelosok desa ini.. Akomodasi yang begitu susahnya, membuat aktifitas yang aku akan kerjakan tertatih-tatih.
Jarak sekitar kurang lebih 15 km dari rumah untuk sampai dikantor, akan tidak menjadi masalah ditempuh kalau kondisinya sama seperti di ibukota Propinsi, akomodasi dan kondisi jalanan yang cukup nyaman. Di sini, di kota kecil ini semua serba sulit untuk ku. Sekitar 8 km jarak yang harus aku tempuh dengan ojek yang dalam waktu satu jam belum tentu ada yang melintas dan dengan kondisi jalanan yang amburadulnya luar biasa, aku tak tahu apa yang ada di dalam fikiran para pejabat-pejabat pemerintahan kabupaten ini pada saat membangunnya -apakah keinginan mengambil keuntungan lebih besar ketimbang rasa sayang kepada desanya sendiri- humph... lagi-lagi semuanya menyebalkan. Setelah 8 km itu kulewati, masih ada sisa-sisa kilometer lagi yang harus kulewati untuk sampai ke kantor, kali ini agak lebih baik karena merupakan jalanan poros lintas kabupaten...
Humphh.. tapi ya hingga akhir ini masih tetap bertahan... Walaupun rutinitas untuk mengupdate blog ini menjadi satu bulan sekali atau tidak sama sekali...
Jarak sekitar kurang lebih 15 km dari rumah untuk sampai dikantor, akan tidak menjadi masalah ditempuh kalau kondisinya sama seperti di ibukota Propinsi, akomodasi dan kondisi jalanan yang cukup nyaman. Di sini, di kota kecil ini semua serba sulit untuk ku. Sekitar 8 km jarak yang harus aku tempuh dengan ojek yang dalam waktu satu jam belum tentu ada yang melintas dan dengan kondisi jalanan yang amburadulnya luar biasa, aku tak tahu apa yang ada di dalam fikiran para pejabat-pejabat pemerintahan kabupaten ini pada saat membangunnya -apakah keinginan mengambil keuntungan lebih besar ketimbang rasa sayang kepada desanya sendiri- humph... lagi-lagi semuanya menyebalkan. Setelah 8 km itu kulewati, masih ada sisa-sisa kilometer lagi yang harus kulewati untuk sampai ke kantor, kali ini agak lebih baik karena merupakan jalanan poros lintas kabupaten...
Humphh.. tapi ya hingga akhir ini masih tetap bertahan... Walaupun rutinitas untuk mengupdate blog ini menjadi satu bulan sekali atau tidak sama sekali...
Saturday, February 16, 2008
Friday, February 15, 2008
Dia berlari meninggalkanku...
Tak terasa waktu berjalan dan mengambil ancang-ancang untuk berlari dan saat ini aku terhuyung-huyung mengikutinya... Humph.. rasanya lelah tuk terus seperti itu.
Hidup dan menetap di desa jauh lebih menyenangkan sebenarnya. Ketenangan, kesejukan, keharmonisan alam, dan segala aspek alami alam masih sangat mudah di dapatkan disini... Satu langkah kaki dari pekarangan rumah, semua dapat telihat dengan jelas. Dalam landskap ini tidak ada satu kekurangan apa pun di mataku... Sempurna.
Tapi, aku tidak tahu kenapa ada satu celah jauh di dalam hatiku tak terisi dengan semua keindahan luar biasa dari sang khalik... Entahlah sampai saat ini belum juga kudapatkan kain penyumbat celah itu. Hampir 2 pekan sejak keberadaanku disini, belum ada juga sehelai benang penyumbat itu kutemukan. Humph...
Friday, February 01, 2008
Betty! Dia Cantik!
01.34 PM. Thursday. 31012008
"Mace su lama trada kabar? Saya paling rindu sampe..
-Betty-"
recieved: 081344469***
01.37 PM. Thursday. 31012008
"Iiiii, Betty Papua ka ini? Aduh mace ko dapat sa pu nomor dari mana? Sa juga rindu ee.. Masih di Papua ka mace?"
sent: 081355864***
01.40 PM. Thursday. 31012008
"Iyo, cocok sudah, sa Betty Papua ini. Ko pu teman SD dulu. Sa dapat ko pu nomor dari teman-teman, kebetulan mereka ada jalan-jalan ke kota lalu kitorang ketemu. Jadi mereka kasih nomor. Iyo sa masih di Papua ini. Ko di makassar toh?"
recieved:081344469***
01.45 PM. Thursday. 31012008
"Puji tuhan Betty, tuhan maha besar sudah kitorang bisa sambung-sambung cerita lagi. Sa senang sekali. Cocok sudah, saya di makassar."
sent:081355864***
01.47 PM. Thursday. 31012008
"Iyo saudara. Saya ingat waktu kitong SD dulu. Muka hancur, su tra berbentuk. Trada rupa sudah. Sekarang su berubah pasti e.."
recieved:081344469***
01.49 PM. Thursday. 31012008
"Yooo mace, su tra kayak dulu lagi... haha. Ko juga tohh. "
sent:081355864***
01.52PM. Thursday. 31012008
"Iyoo tohh. Eh ko jaga diri baik-baik. Tuhan menyertai. Nanti sa telepon ko."
recieved:081344469***
Sms yang penuh dengan beribu kenangan luar biasa bersama sobat baik saya di Papua dulu. Hingga rasanya setiap ketikan kata yang ku tulis adalah kumpulan-kumpulan kenangan wujudnya dulu yang berusaha kusempurnakan sekarang. Wujud manusia cilik yang beberapa tahun lalu selalu kurindukan disetiap hari di sekolah kampungku. Wujud manusia cilik dengan mop-mop khas PAPUAnya, entah dari mana selalu dia dapatkan itu.
Bahagia tak terbendung mendapatkan pesan mu di telepon genggamku, ya telepon genggam yang di beberapa bagiannya sudah banyak goresan-goresan dan beberapa bagian pecah yang menandakan sudah sangat lama waktu hidupnya dan beberapa kali di perlakukan dengan semena-mena. Tetapi cukup menandakan bahwa aku telah berada pada jaman dimana televisipun bukan hitam putih lagi, lebih berwarna dan hidup.
Sungguh bahagia, bahagia bak aku telah menyelesaikan penyelaman luar biasa di lautan yang ditumbuhi dengan terumbu-terumbu karang yang berwarna-warni seperti pelangi dan ditemani dengan sejuta ikan-ikan cantik jenis Heniochus acuminatus, yang ditubuhnya mempunyai garis-garis hitam putih yang lebar dengan ekornya yang kuning atau dari jenis Zanchus cornutus yang sirip punggungnya panjang sekali dengan mulutnya monyong panjang kedepan (memang ada monyong kebelakang??!) dengan dasar putih-kuning dan ditimpa garis-garis hitam yang lebar. Melihat meraka bermain-main di terumbu karang, pancaran aura yang luar biasa. Pemandangan yang selalu kuumpamakan dengan surga kecil membuatku seperti di awang-awang...
Betty. Sobat kecil dulu, adalah anak pribumi PAPUA. Maafkan ku dengan setulus hatimu karena aku sungguh lupa Fam keluargamu. Tidak seperti kebanyakan anak Pribumi lainnya, kulitnya lebih putih. Cantik, itu selalu yang kugumamkan dalam hati setiap kali melihatnya. Setiap pagi, pada saat berangkat ke sekolah karena jarak rumahku lebih jauh di atas bukit, dia selalu setia menantiku di depan rumahnya, di waktu dan tempat yang sama, di rumah rumbia kecil tepat di depan rumahnya -yang biasa digunakan seluruh keluarganya berkumpul tuk sekedar santai- kecuali dia tidak masuk sekolah, kakak atau Ibunya menitipkan sepucuk surat untuk guru. Rambutnya tersisir kebelakang dengan ikatan kuncir kuda, rapih sekali. Atau kalau bosan dengan model rambut seperti kuda itu dia selalu mengepang kecil seluruh rambutnya, seperi cacing-cacing yang dia deretkan di atas kepalanya. Aku selalu berdecak kagum melihat teman-teman pribumiku dengan model rambut seperti ini, haaaa berapa lama dia kerjakan untuk mendapatkan model seperti ini.
Postur tubuhnya jauh lebih besar dari pada aku waktu, beberapa kali ketika pulang sekolah, ketika aku tak sanggup dan nafas tersengal-sengal dengan tulusnya ia menawarkan punggungnya untuk kutunggangi pulang. Rasanya tak tega apalagi dengan jalanan yang mendaki bukit dan jarak yang tidak dekat. Ahhh, betapa saat itu kucintai dan kusayangi dirimu dengan sepenuh hatiku Betty. Begitu tulusmu dengan segala kebaikanmu. Merasa belum cukup dengan kebaikan yang ia berikan kepadaku -tunggangan- ia merasa berkewajiban memberikan hiburan, mengalir dari mulutnya cerita-cerita mop luar biasa mengocok perutku. Hingga pada saat aku tertawa, jalannya menjadi limbung karena penumpangnya tak tahu diri tertawa seenak udelnya saja....
Suatu siang yang lain pada saat kami pulang sekolah, melewati lagi-lagi bukit yang sama.. Betty mencoba mencari alternatif jalan yang berbeda dengan melewati jalan tikus di sisi lain bukit. Setelah lama berfikir dan mengingat-ingat lagi pesan Ummi "Jangan pernah lewat jalan di belakang Bukit Vy kalo ko sendiri!". Takut rasanya aku bakal mengkhiati janjiku dengan Ummi, tapi aku kan tidak sendiri ada Betty menemaniku. Aku juga bosan melewati jalan yang sama apalagi ketika nanti harus bertemu dengan teman-teman gedungku yang selalu membuat bulir-bulir jernih dari mataku harus keluar... Anggukanku dijadikan komando oleh Betty untuk melangkahkan kakinya. Dia yang menjadi ketua ekspedisi ini. Ohh, astaga setelah mulai menaiki bukit itu, aku tahu kenapa Ummi sangat melarangku melewatinya. Ini bukan jalan tikus, ini jalan ular. Pasti akan ada banyak ular yang melewatinya, rumput-rumput segar yang tingginya melewati tubuh kecilku, dan jalannya licin dipenuhi dengan lumpur. Aku ketakutan, takut luar biasa! Rasanya ingin pipis di celana saja. Aku memegang erat bagian belakang lengannya, seperti orang sedang meremas ampas kelapa untuk diambil santannya. Mataku memerah karena rasanya bulir-bulir itu tak tertahankan, keringat mengucur deras bak butir-butir air yang keluar dari es yang dicampurkan air.
"Ko jangan takut Evy!"
Sambil menatap mataku, menguatkan perasaanku. Seperti pada saat seorang pelatih memberikan semangat kepada anak didiknya agar berhasil di dalam pertandingannya. Benar, dia berhasil membuat ketakutanku sedikit berkurang. Tapi kembali membuncah saat kulihat sisi kananku, ahhh dalam sekali jurang itu. Pasti kita akan meninggal seketika kalau jatuh di dalamnya bukan karena hanya jatuh tapi tubuhku akan digerogoti seenaknya oleh makhluk-makhluk aneh. Sisi kiriku tak kalah mengerikan, bukit tinggi dengan batu-batu besar di atasnya. Tak dapat kutahan ketakutanku bagaimana tiba-tiba terjadi longsor dan batu-batu itu menimpaku, otakku akan berserakan dan semua bunga-bunga hidup yang kutanam hancur berantakan. Jauh lebih deras keringatku bercucuran, tangaku yang dapat kurasakan seperti es. Betty rasakan itu.
"Wee ko jangn takut begitu, Evy ko tau kah sa pu tempat rahasia disini katong bisa liat semua pemandangan...Su dekat tu di depan"
Lagi sambil menatap mataku, jauh lebih dalam dia selami dan mengambil gundah itu dan membuangnya jatuh ke dalam jurang. Lagi dia berhasil, jauh lebih berhasil dari usaha pertamanya. Ketika sampai di tempat rahasianya -aku baru tahu ini bukan pertama kalinya dia lewat jalan ini- Fantastik! Cantik! Semua dapat kulihat dari atas sini, pelabuhan kota jayapura, pantai BASE G, lautan terpapar indah, hijaunya pulau dan daratan Papua tercinta. Hanya satu pulau yang aku ketahui namanya itupun karena Betty dan teman-temanku yang lain memberitahuku "Pulau Babi" entah kenapa disebut begitu. Entahlah, tapi pulau itu yang memang paling bersinar di malam hari dibandingkan yang lainnya, ada salib besar yang menjulang naik dari tengah pulaunya, kalau malah hari lampunya berkedip-kedip cantik -aku tak tahu sekarang apa masih seperti itu- Pulau-pulau yang ada di hamparan laut indah ini seperti tahi lalat yang menambah cantiknya muka seseorang. Luar biasa!
"Bagus Toh"
Betty menyenggol tubuhku dan tersenyum. Cantik sekali dengan senyum manisnya itu. Ehmm wahai engaku wujud pertama yang mengenalkan aku pada tempat indah ini cintaku tak terhingga padamu.
"Ini Vy, ko coba!"
Betty memberikan buah kecil berbentuk torpedo berwarna hijau, buah panjang seperti pensil namun lentur berwarna hijau dengan bintil binti disekujur tubuhnya dan serbuk putih dalam bungkusan kecil kertas putih yang dilipat. Aku kenal ini, bukankah itu adalah buah pinang, sirih dan kapur sirih, satu set perlengkapan memakan pinang. Apalagi yang ingin dia kenalkan padaku. Apakah dia ingin aku coba memakannya. Perasaan campur aduk, sudah sejak lama aku ingin mencicipinya. Tapi ada rasa takut karena beberapa orang bilang rasanya pahit sekali. Takutku tak sebanding dengan rasa penasaranku. Aku mencoba dengan tuntunan dari dia, mulai cara mengupas buah pinang dan mulai menggigitnya. Orang-orang itu tidak bohong, rasanya memang pahit, malah sangat pahit. Aku ingin segera memuntahkannya, tapi matanya menatapku dengan tajam seakan menyuruhku untuk tidak melakukannya. Aku turuti permintaannya, aku berusaha menahan rasa pahit itu. Dia membalur buah sirih itu dengan kapur sirih kemudian menmberikan kepadaku untuk dimakan. Aku ikuti kemauannya. Ada rasa panas, aneh, pahit, sepat bercampur dalam mulutku. Tetapi setelah lama ku kunyah rasanya jauh lebih baik, malah menurutku enak. Dia mengajarakan untuk membuang air sisa kunyahan jika sudah menumpuk dalam mulut. Ku ikuti semua caranya.... Kami saling bertatapan, kemudian tertawa terbahak-bahak bersama. Tawa semakin jadi hingga perutku sakit ketika melihat giginya yang merah akibat pinang begitupun sebaliknya dia tertawa terbahak-bahak menahan perutnya. DIA CANTIK! Setelah praktek belajar mengajar di bukit itu, aku semakin ketagihan untuk memakan pinang. Tak rutin tapi sering dia sering membawakan pinang khusus untukku.
Ahhh, begitu banyak yang engkau berikan padaku Betty! Beribu Cinta dan Sayangku untukmu! Terimakasih sudah memperkenalkan banyak tentang PAPUA dan menjadi sebagian bunga-bunga hidup yang akan kuceritakan pada anak dan cucuku kelak...
"Mace su lama trada kabar? Saya paling rindu sampe..
-Betty-"
recieved: 081344469***
01.37 PM. Thursday. 31012008
"Iiiii, Betty Papua ka ini? Aduh mace ko dapat sa pu nomor dari mana? Sa juga rindu ee.. Masih di Papua ka mace?"
sent: 081355864***
01.40 PM. Thursday. 31012008
"Iyo, cocok sudah, sa Betty Papua ini. Ko pu teman SD dulu. Sa dapat ko pu nomor dari teman-teman, kebetulan mereka ada jalan-jalan ke kota lalu kitorang ketemu. Jadi mereka kasih nomor. Iyo sa masih di Papua ini. Ko di makassar toh?"
recieved:081344469***
01.45 PM. Thursday. 31012008
"Puji tuhan Betty, tuhan maha besar sudah kitorang bisa sambung-sambung cerita lagi. Sa senang sekali. Cocok sudah, saya di makassar."
sent:081355864***
01.47 PM. Thursday. 31012008
"Iyo saudara. Saya ingat waktu kitong SD dulu. Muka hancur, su tra berbentuk. Trada rupa sudah. Sekarang su berubah pasti e.."
recieved:081344469***
01.49 PM. Thursday. 31012008
"Yooo mace, su tra kayak dulu lagi... haha. Ko juga tohh. "
sent:081355864***
01.52PM. Thursday. 31012008
"Iyoo tohh. Eh ko jaga diri baik-baik. Tuhan menyertai. Nanti sa telepon ko."
recieved:081344469***
Sms yang penuh dengan beribu kenangan luar biasa bersama sobat baik saya di Papua dulu. Hingga rasanya setiap ketikan kata yang ku tulis adalah kumpulan-kumpulan kenangan wujudnya dulu yang berusaha kusempurnakan sekarang. Wujud manusia cilik yang beberapa tahun lalu selalu kurindukan disetiap hari di sekolah kampungku. Wujud manusia cilik dengan mop-mop khas PAPUAnya, entah dari mana selalu dia dapatkan itu.
Bahagia tak terbendung mendapatkan pesan mu di telepon genggamku, ya telepon genggam yang di beberapa bagiannya sudah banyak goresan-goresan dan beberapa bagian pecah yang menandakan sudah sangat lama waktu hidupnya dan beberapa kali di perlakukan dengan semena-mena. Tetapi cukup menandakan bahwa aku telah berada pada jaman dimana televisipun bukan hitam putih lagi, lebih berwarna dan hidup.
Sungguh bahagia, bahagia bak aku telah menyelesaikan penyelaman luar biasa di lautan yang ditumbuhi dengan terumbu-terumbu karang yang berwarna-warni seperti pelangi dan ditemani dengan sejuta ikan-ikan cantik jenis Heniochus acuminatus, yang ditubuhnya mempunyai garis-garis hitam putih yang lebar dengan ekornya yang kuning atau dari jenis Zanchus cornutus yang sirip punggungnya panjang sekali dengan mulutnya monyong panjang kedepan (memang ada monyong kebelakang??!) dengan dasar putih-kuning dan ditimpa garis-garis hitam yang lebar. Melihat meraka bermain-main di terumbu karang, pancaran aura yang luar biasa. Pemandangan yang selalu kuumpamakan dengan surga kecil membuatku seperti di awang-awang...
Betty. Sobat kecil dulu, adalah anak pribumi PAPUA. Maafkan ku dengan setulus hatimu karena aku sungguh lupa Fam keluargamu. Tidak seperti kebanyakan anak Pribumi lainnya, kulitnya lebih putih. Cantik, itu selalu yang kugumamkan dalam hati setiap kali melihatnya. Setiap pagi, pada saat berangkat ke sekolah karena jarak rumahku lebih jauh di atas bukit, dia selalu setia menantiku di depan rumahnya, di waktu dan tempat yang sama, di rumah rumbia kecil tepat di depan rumahnya -yang biasa digunakan seluruh keluarganya berkumpul tuk sekedar santai- kecuali dia tidak masuk sekolah, kakak atau Ibunya menitipkan sepucuk surat untuk guru. Rambutnya tersisir kebelakang dengan ikatan kuncir kuda, rapih sekali. Atau kalau bosan dengan model rambut seperti kuda itu dia selalu mengepang kecil seluruh rambutnya, seperi cacing-cacing yang dia deretkan di atas kepalanya. Aku selalu berdecak kagum melihat teman-teman pribumiku dengan model rambut seperti ini, haaaa berapa lama dia kerjakan untuk mendapatkan model seperti ini.
Postur tubuhnya jauh lebih besar dari pada aku waktu, beberapa kali ketika pulang sekolah, ketika aku tak sanggup dan nafas tersengal-sengal dengan tulusnya ia menawarkan punggungnya untuk kutunggangi pulang. Rasanya tak tega apalagi dengan jalanan yang mendaki bukit dan jarak yang tidak dekat. Ahhh, betapa saat itu kucintai dan kusayangi dirimu dengan sepenuh hatiku Betty. Begitu tulusmu dengan segala kebaikanmu. Merasa belum cukup dengan kebaikan yang ia berikan kepadaku -tunggangan- ia merasa berkewajiban memberikan hiburan, mengalir dari mulutnya cerita-cerita mop luar biasa mengocok perutku. Hingga pada saat aku tertawa, jalannya menjadi limbung karena penumpangnya tak tahu diri tertawa seenak udelnya saja....
Suatu siang yang lain pada saat kami pulang sekolah, melewati lagi-lagi bukit yang sama.. Betty mencoba mencari alternatif jalan yang berbeda dengan melewati jalan tikus di sisi lain bukit. Setelah lama berfikir dan mengingat-ingat lagi pesan Ummi "Jangan pernah lewat jalan di belakang Bukit Vy kalo ko sendiri!". Takut rasanya aku bakal mengkhiati janjiku dengan Ummi, tapi aku kan tidak sendiri ada Betty menemaniku. Aku juga bosan melewati jalan yang sama apalagi ketika nanti harus bertemu dengan teman-teman gedungku yang selalu membuat bulir-bulir jernih dari mataku harus keluar... Anggukanku dijadikan komando oleh Betty untuk melangkahkan kakinya. Dia yang menjadi ketua ekspedisi ini. Ohh, astaga setelah mulai menaiki bukit itu, aku tahu kenapa Ummi sangat melarangku melewatinya. Ini bukan jalan tikus, ini jalan ular. Pasti akan ada banyak ular yang melewatinya, rumput-rumput segar yang tingginya melewati tubuh kecilku, dan jalannya licin dipenuhi dengan lumpur. Aku ketakutan, takut luar biasa! Rasanya ingin pipis di celana saja. Aku memegang erat bagian belakang lengannya, seperti orang sedang meremas ampas kelapa untuk diambil santannya. Mataku memerah karena rasanya bulir-bulir itu tak tertahankan, keringat mengucur deras bak butir-butir air yang keluar dari es yang dicampurkan air.
"Ko jangan takut Evy!"
Sambil menatap mataku, menguatkan perasaanku. Seperti pada saat seorang pelatih memberikan semangat kepada anak didiknya agar berhasil di dalam pertandingannya. Benar, dia berhasil membuat ketakutanku sedikit berkurang. Tapi kembali membuncah saat kulihat sisi kananku, ahhh dalam sekali jurang itu. Pasti kita akan meninggal seketika kalau jatuh di dalamnya bukan karena hanya jatuh tapi tubuhku akan digerogoti seenaknya oleh makhluk-makhluk aneh. Sisi kiriku tak kalah mengerikan, bukit tinggi dengan batu-batu besar di atasnya. Tak dapat kutahan ketakutanku bagaimana tiba-tiba terjadi longsor dan batu-batu itu menimpaku, otakku akan berserakan dan semua bunga-bunga hidup yang kutanam hancur berantakan. Jauh lebih deras keringatku bercucuran, tangaku yang dapat kurasakan seperti es. Betty rasakan itu.
"Wee ko jangn takut begitu, Evy ko tau kah sa pu tempat rahasia disini katong bisa liat semua pemandangan...Su dekat tu di depan"
Lagi sambil menatap mataku, jauh lebih dalam dia selami dan mengambil gundah itu dan membuangnya jatuh ke dalam jurang. Lagi dia berhasil, jauh lebih berhasil dari usaha pertamanya. Ketika sampai di tempat rahasianya -aku baru tahu ini bukan pertama kalinya dia lewat jalan ini- Fantastik! Cantik! Semua dapat kulihat dari atas sini, pelabuhan kota jayapura, pantai BASE G, lautan terpapar indah, hijaunya pulau dan daratan Papua tercinta. Hanya satu pulau yang aku ketahui namanya itupun karena Betty dan teman-temanku yang lain memberitahuku "Pulau Babi" entah kenapa disebut begitu. Entahlah, tapi pulau itu yang memang paling bersinar di malam hari dibandingkan yang lainnya, ada salib besar yang menjulang naik dari tengah pulaunya, kalau malah hari lampunya berkedip-kedip cantik -aku tak tahu sekarang apa masih seperti itu- Pulau-pulau yang ada di hamparan laut indah ini seperti tahi lalat yang menambah cantiknya muka seseorang. Luar biasa!
"Bagus Toh"
Betty menyenggol tubuhku dan tersenyum. Cantik sekali dengan senyum manisnya itu. Ehmm wahai engaku wujud pertama yang mengenalkan aku pada tempat indah ini cintaku tak terhingga padamu.
"Ini Vy, ko coba!"
Betty memberikan buah kecil berbentuk torpedo berwarna hijau, buah panjang seperti pensil namun lentur berwarna hijau dengan bintil binti disekujur tubuhnya dan serbuk putih dalam bungkusan kecil kertas putih yang dilipat. Aku kenal ini, bukankah itu adalah buah pinang, sirih dan kapur sirih, satu set perlengkapan memakan pinang. Apalagi yang ingin dia kenalkan padaku. Apakah dia ingin aku coba memakannya. Perasaan campur aduk, sudah sejak lama aku ingin mencicipinya. Tapi ada rasa takut karena beberapa orang bilang rasanya pahit sekali. Takutku tak sebanding dengan rasa penasaranku. Aku mencoba dengan tuntunan dari dia, mulai cara mengupas buah pinang dan mulai menggigitnya. Orang-orang itu tidak bohong, rasanya memang pahit, malah sangat pahit. Aku ingin segera memuntahkannya, tapi matanya menatapku dengan tajam seakan menyuruhku untuk tidak melakukannya. Aku turuti permintaannya, aku berusaha menahan rasa pahit itu. Dia membalur buah sirih itu dengan kapur sirih kemudian menmberikan kepadaku untuk dimakan. Aku ikuti kemauannya. Ada rasa panas, aneh, pahit, sepat bercampur dalam mulutku. Tetapi setelah lama ku kunyah rasanya jauh lebih baik, malah menurutku enak. Dia mengajarakan untuk membuang air sisa kunyahan jika sudah menumpuk dalam mulut. Ku ikuti semua caranya.... Kami saling bertatapan, kemudian tertawa terbahak-bahak bersama. Tawa semakin jadi hingga perutku sakit ketika melihat giginya yang merah akibat pinang begitupun sebaliknya dia tertawa terbahak-bahak menahan perutnya. DIA CANTIK! Setelah praktek belajar mengajar di bukit itu, aku semakin ketagihan untuk memakan pinang. Tak rutin tapi sering dia sering membawakan pinang khusus untukku.
Ahhh, begitu banyak yang engkau berikan padaku Betty! Beribu Cinta dan Sayangku untukmu! Terimakasih sudah memperkenalkan banyak tentang PAPUA dan menjadi sebagian bunga-bunga hidup yang akan kuceritakan pada anak dan cucuku kelak...
Wednesday, January 30, 2008
Saturday, January 26, 2008
Beribu Hikmah Sakit...
Malam itu rasanya tubuhku tak lagi bersahabat untuk melakukan semua aktifitas rutin yang ingin ku kerjakan... Dingin luar biasa menyerang sekujur tubuh, hingga rasanya mulai merembes masuk ke dalam tulang-tulangku... Sungguh rasanya memilukan, lebih sakit rasanya ketimbang "sakit hati" _^
Dalam kondisi begini, tidak enak rasanya tidur sendiri di dalam kamar pengapku karena di beberapa bagian temboknya lembab, sisa-sisa banjir dahsyat di Makassar tahun 1999.. ehmm juga ditemani dengan beberapa boneka yang diantara mereka selalu menatap kejam ke arahku karena sudah hampir 5 tahun tak pernah kuelus hingga benangnya kusut dan berubah warna menjadi kusam. Yaaa aku ingat betul sudah hampir 5 tahun sejak kesibukan kuliah tentang meteorologi laut, geologi laut, ikhtiologi, pencemaran laut, oseaonografi fisika, oseanografi kimia, biologi laut, coralogy, etc; praktikum menghitung jumlah telur dan kematanagan ikan teri, menganalisis persentase Dissolved Oxygen, Sedimentasi, Nitrat, Nitrit di perairan ini dan itu di laboaratorium atau praktek lapang mencari tahu tentang luasan karang, lamun, dan mangrove entah di pulau mana... humph... Wajar memang memang mereka memandang kejam ke arahku setelah beribu-ribu kebaikan mereka menemani dan meminjamkan benang-benangnya untukku ketika hati gundah dan air mata berlinangan...
Aku segera bergegas mengambil selimut tebal yang setia menemaniku dalam dingin malam sejak belasan tahun lalu menuju kamar Ummi dan Abah. Ini dia tempat teraman jika kondisi tubuhku seperti ini. Belaian lembut Ummi cukup dapat mengurangi secuil ngilu itu. Ummi, panggilanku kepada seorang perempuan yang telah memberikan tempat hangat selama 9 bulan di dalam rahimnya dan asupan energi yang cukup untukku... Aku rasa ini akan menjadi panggilan abadiku kepada Ummi setelah beberapa kali kurubah panggilanku kepadanya. Panggilan lainnya tak tahan melekat hanya sekitar 3-4 tahun. Tak tega melihat tubuhku bergetar bak mesin cuci harga murah sedang mengeringkan pakaian, Ummi mengambil selimut tebal lainnya dan menindihnya di atas selimut tebalku yang telah terlebih dahulu membalut tubuhku. Kemudian berusaha memelukku... Walau rasanya seluruh panas tubuh Ummi berusaha ditransferkan kepadaku, tetap tidak ada perubahan bagiku... Rasa dingin luar biasa menyerangku... Aku menggigil sejadi jadinya...
Ummi, perempuan luar biasa yang pernah ku kenal dalam hidup! Aku rasa apa pun akan dilakukan untukku, anak semata wayangnya, pelengkap kebahagian dalam hidupnya, buah hati yang selama 4 tahun dinantikan untuk melengkapi pernikahannya dan anak yang "menyebalkan" karena setiap saat mencuri-curi pelukan dan ciuman hangatnya. Aku ingat betul saat sekolah di Sekolah Dasar Inpres Dok VIII Jayapura dulu dari kelas dasar hingga tamat, Ummi setia mengantar ku menuruni gunung sekitar 1 km menuju sekolah kampung di bawah gunung sana sambil menyuapi makanan. Kadang aku merasa malu dengan teman-teman yang melihatku. "Su di antar sama mama, disuapi makan lagi". Begitu kata mereka dengan logat PAPUA yang kental melihat hari-hari ku yang selalu di temani Ummi.
Ada juga pengalaman lainku, yang akhirnya menyadarkanku begitu hebatnya Perempuan yang telah melahirkanku.
Ketika di Sekolah Dasar, aku adalah satu-satunya anak perempuan di Kompleks Rumah Dinas ku yang bersekolah di sekolah kampung itu selebihnya hanya sekitar 3 orang laki-laki. Di sekolah ku mayoritas adalah anak-anak pribumi PAPUA, saat itu aku bisa menghitung dengan jari teman-teman ku yang pendatang. Teman-teman di kompleksku yang jumlahnya lebih 20 orang dan kesemuanya anak-anak pejabat disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah swasta terkenal di kota jayapura. Siang itu di terik matahari, aku ingat betul aku bersama teman-teman pribumi PAPUA berjalan kaki pulang kerumah, mendaki gunung sambil mengobrol dan makan buah pinang. Tiba-tiba melintas mobil jemputan sekolah teman-teman "gedongku", setelah sadar yang dilewati itu aku mereka menyuruh supirnya untuk berhenti dan berbalik ke arahku. Saat itu hatiku luar biasa gembira, pikirku akhirnya rutinas jalan kaki mendaki gunungku akan bervariasi dengan naik mobil pulang sekolah dan tentu saja mengurangi keletihanku naik turun gunung setiap harinya. Ternyata perkiraanku salah, mereka menertawaiku, mengejek, menghina karena aku hanya bisa jalan kaki tiap pulang sekolah, ditambah lagi ditemani dengan teman-teman dari sekolah kampungku. Tak ada yang bisa kulakukan saat itu, spontan bulir-bulir bening keluar dan menangis sejadi-jadinya! Bulir itu tak tertahankan meskipun aku telah sampai di rumah, dan tentu saja Ummi kaget mendapati aku dalam keadaan seperti itu.. Dengan umurku saat itu semua cerita keluar dengan spontan dari mulutku. Ummi bak pahlawan super, langsung menuju kerumah teman-teman "gedongku" dan memarahi mereka habis-habisan. Saat itu Ummi mengalahi pesona SUPERMAN, pahlawan super idolaku.
Cerita lain lagi yaitu ketika aku pulang sekolah, siang itu matahari terik dan seorang diri pula! Sekitar 200 m akan mencapai rumah tiba-tiba anjing tetangga yang terkenal galak lari mengejarku setelah mendengar nyanyian cemprengku untuk mengurangi sedikit lelah berjalan kaki mendaki gunung, walaupun setelah bernyanyi nanti hausnya bukan main... Jantungku serasa jatuh tiba-tiba setelah kulihat anjing itu lari sekencang-kencangnya seperti melihat makanan lezat untuk disantap karena tidur siangnya tiba-tiba diganggu dengan suara aneh yang berasal dari mulutku. Aku menangis sejadi-jadinya, mencari benda apa yang bisa membantuku tak ada satupun benda di dekatku yang kurasa bisa membantuku selain berpuluh-puluh pohon tinggi yang berada disamping jalan. Aku berusa berlari ke arah pohon-pohon itu sambil berteriak memanggil nama Ibu sejadi-jadinya, ya saat itu aku masih memanggil Ibu sebelum aku memanggilnya Ummi seperti sekarang. "Ibu!!!!!!!!". Karena jaraknya tak jauh dari rumah atau aku rasa yang paling mungkin adalah suaraku yang memang sangat "kencang dan lantang" berteriak akibat Anjing Sialan itu. Ummi jelas mengenali suara anak nya. Lari tak karuan kulihat Ummi ke arahku. Setelah tahu apa yang membuat suaraku lantang berteriak, Ummi mengambil kayu panjang disampingnya dan mengejar dan memukul anjing itu sejadi-jadinya! Humph, rasanya lepas beban melihat itu. Aku yang telah bersiap memanjat pohon penolong, lari terbirit-birit ke arah Ummi dan memeluk erat dan habis-habisan menceritakan sambil menangis sengakngukkan...
You are my Hero Mom! I Love You!
.........................................................................................
Humph setelah kulewati separuh malamku menggigil kedinginan seperti saat seorang penyelam kehilangan panas tubuhnya karena pakaian pelindung yang dipakai tidak sempurna dalam penyelamannya, panas tubuhku melompat naik ke tingkat lebih tinggi dan enggan turun malah semakin naik...
Kedinginan setengah mati lalu terasa panas luar biasa, kondisi ini ku alami hampir 1 minggu lamanya.. Di perparah lagi dengan tambahan sakit perut, yang menggenapkan "sakit" ini hampir 2 minggu... Wuih! Mungkin kalau hanya nyeri di bagian perut, masih bisa ditangani. Misalnya dengan minta tolong diusapkan campuran bawang merah dan minyak gosok atau berusaha menghubungi nenek "dato" meminta "mantra" mengobati sakit perut yang asli "bahasa mangkasara" dan rumit untuk diucapkan. Tapi kalau masalahnya adalah "bolak balik" ke "water closet" itu adalah masalah besar!
Akhirnya, saat ini alhamdulillah telah kembali fit dan dapat duduk depan komputer dan mem posting ini. Sakit!!! Beribu hikmah dari hal ini. Semua hal baik terlihat pada prosesi ini. Dan semua harapan baik terwujud, dimanja Ummi dan Abah, meminta makanan apapun yang kita mau walaupun tetap tak enak untuk turun melewati indera perasa yang sedang mengalami "masalah kepahitan", dijenguk oleh saudara dan kawan serta yang tidak ketinggalan mendapati sms dengan bunyi "Kesehatanmu Adalah Nafas Hidupku!".. he2.. TAPI! Satu harapan baik yang tidak tercapai dengan maksimal, LANGSING! but it's ok, Nature Overdid a Good Thing, RIGHT? he2... Ehmmm Terimakasih Ummi, Selalu ada disampingku dan memberikan Doa-Doa terbaikmu.
Di doa Ibuku namaku di sebut
Di doa Ibu ku dengar ada namaku di sebut
Ada namaku di sebut
Dalam kondisi begini, tidak enak rasanya tidur sendiri di dalam kamar pengapku karena di beberapa bagian temboknya lembab, sisa-sisa banjir dahsyat di Makassar tahun 1999.. ehmm juga ditemani dengan beberapa boneka yang diantara mereka selalu menatap kejam ke arahku karena sudah hampir 5 tahun tak pernah kuelus hingga benangnya kusut dan berubah warna menjadi kusam. Yaaa aku ingat betul sudah hampir 5 tahun sejak kesibukan kuliah tentang meteorologi laut, geologi laut, ikhtiologi, pencemaran laut, oseaonografi fisika, oseanografi kimia, biologi laut, coralogy, etc; praktikum menghitung jumlah telur dan kematanagan ikan teri, menganalisis persentase Dissolved Oxygen, Sedimentasi, Nitrat, Nitrit di perairan ini dan itu di laboaratorium atau praktek lapang mencari tahu tentang luasan karang, lamun, dan mangrove entah di pulau mana... humph... Wajar memang memang mereka memandang kejam ke arahku setelah beribu-ribu kebaikan mereka menemani dan meminjamkan benang-benangnya untukku ketika hati gundah dan air mata berlinangan...
Aku segera bergegas mengambil selimut tebal yang setia menemaniku dalam dingin malam sejak belasan tahun lalu menuju kamar Ummi dan Abah. Ini dia tempat teraman jika kondisi tubuhku seperti ini. Belaian lembut Ummi cukup dapat mengurangi secuil ngilu itu. Ummi, panggilanku kepada seorang perempuan yang telah memberikan tempat hangat selama 9 bulan di dalam rahimnya dan asupan energi yang cukup untukku... Aku rasa ini akan menjadi panggilan abadiku kepada Ummi setelah beberapa kali kurubah panggilanku kepadanya. Panggilan lainnya tak tahan melekat hanya sekitar 3-4 tahun. Tak tega melihat tubuhku bergetar bak mesin cuci harga murah sedang mengeringkan pakaian, Ummi mengambil selimut tebal lainnya dan menindihnya di atas selimut tebalku yang telah terlebih dahulu membalut tubuhku. Kemudian berusaha memelukku... Walau rasanya seluruh panas tubuh Ummi berusaha ditransferkan kepadaku, tetap tidak ada perubahan bagiku... Rasa dingin luar biasa menyerangku... Aku menggigil sejadi jadinya...
Ummi, perempuan luar biasa yang pernah ku kenal dalam hidup! Aku rasa apa pun akan dilakukan untukku, anak semata wayangnya, pelengkap kebahagian dalam hidupnya, buah hati yang selama 4 tahun dinantikan untuk melengkapi pernikahannya dan anak yang "menyebalkan" karena setiap saat mencuri-curi pelukan dan ciuman hangatnya. Aku ingat betul saat sekolah di Sekolah Dasar Inpres Dok VIII Jayapura dulu dari kelas dasar hingga tamat, Ummi setia mengantar ku menuruni gunung sekitar 1 km menuju sekolah kampung di bawah gunung sana sambil menyuapi makanan. Kadang aku merasa malu dengan teman-teman yang melihatku. "Su di antar sama mama, disuapi makan lagi". Begitu kata mereka dengan logat PAPUA yang kental melihat hari-hari ku yang selalu di temani Ummi.
Ada juga pengalaman lainku, yang akhirnya menyadarkanku begitu hebatnya Perempuan yang telah melahirkanku.
Ketika di Sekolah Dasar, aku adalah satu-satunya anak perempuan di Kompleks Rumah Dinas ku yang bersekolah di sekolah kampung itu selebihnya hanya sekitar 3 orang laki-laki. Di sekolah ku mayoritas adalah anak-anak pribumi PAPUA, saat itu aku bisa menghitung dengan jari teman-teman ku yang pendatang. Teman-teman di kompleksku yang jumlahnya lebih 20 orang dan kesemuanya anak-anak pejabat disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah swasta terkenal di kota jayapura. Siang itu di terik matahari, aku ingat betul aku bersama teman-teman pribumi PAPUA berjalan kaki pulang kerumah, mendaki gunung sambil mengobrol dan makan buah pinang. Tiba-tiba melintas mobil jemputan sekolah teman-teman "gedongku", setelah sadar yang dilewati itu aku mereka menyuruh supirnya untuk berhenti dan berbalik ke arahku. Saat itu hatiku luar biasa gembira, pikirku akhirnya rutinas jalan kaki mendaki gunungku akan bervariasi dengan naik mobil pulang sekolah dan tentu saja mengurangi keletihanku naik turun gunung setiap harinya. Ternyata perkiraanku salah, mereka menertawaiku, mengejek, menghina karena aku hanya bisa jalan kaki tiap pulang sekolah, ditambah lagi ditemani dengan teman-teman dari sekolah kampungku. Tak ada yang bisa kulakukan saat itu, spontan bulir-bulir bening keluar dan menangis sejadi-jadinya! Bulir itu tak tertahankan meskipun aku telah sampai di rumah, dan tentu saja Ummi kaget mendapati aku dalam keadaan seperti itu.. Dengan umurku saat itu semua cerita keluar dengan spontan dari mulutku. Ummi bak pahlawan super, langsung menuju kerumah teman-teman "gedongku" dan memarahi mereka habis-habisan. Saat itu Ummi mengalahi pesona SUPERMAN, pahlawan super idolaku.
Cerita lain lagi yaitu ketika aku pulang sekolah, siang itu matahari terik dan seorang diri pula! Sekitar 200 m akan mencapai rumah tiba-tiba anjing tetangga yang terkenal galak lari mengejarku setelah mendengar nyanyian cemprengku untuk mengurangi sedikit lelah berjalan kaki mendaki gunung, walaupun setelah bernyanyi nanti hausnya bukan main... Jantungku serasa jatuh tiba-tiba setelah kulihat anjing itu lari sekencang-kencangnya seperti melihat makanan lezat untuk disantap karena tidur siangnya tiba-tiba diganggu dengan suara aneh yang berasal dari mulutku. Aku menangis sejadi-jadinya, mencari benda apa yang bisa membantuku tak ada satupun benda di dekatku yang kurasa bisa membantuku selain berpuluh-puluh pohon tinggi yang berada disamping jalan. Aku berusa berlari ke arah pohon-pohon itu sambil berteriak memanggil nama Ibu sejadi-jadinya, ya saat itu aku masih memanggil Ibu sebelum aku memanggilnya Ummi seperti sekarang. "Ibu!!!!!!!!". Karena jaraknya tak jauh dari rumah atau aku rasa yang paling mungkin adalah suaraku yang memang sangat "kencang dan lantang" berteriak akibat Anjing Sialan itu. Ummi jelas mengenali suara anak nya. Lari tak karuan kulihat Ummi ke arahku. Setelah tahu apa yang membuat suaraku lantang berteriak, Ummi mengambil kayu panjang disampingnya dan mengejar dan memukul anjing itu sejadi-jadinya! Humph, rasanya lepas beban melihat itu. Aku yang telah bersiap memanjat pohon penolong, lari terbirit-birit ke arah Ummi dan memeluk erat dan habis-habisan menceritakan sambil menangis sengakngukkan...
You are my Hero Mom! I Love You!
.........................................................................................
Humph setelah kulewati separuh malamku menggigil kedinginan seperti saat seorang penyelam kehilangan panas tubuhnya karena pakaian pelindung yang dipakai tidak sempurna dalam penyelamannya, panas tubuhku melompat naik ke tingkat lebih tinggi dan enggan turun malah semakin naik...
Kedinginan setengah mati lalu terasa panas luar biasa, kondisi ini ku alami hampir 1 minggu lamanya.. Di perparah lagi dengan tambahan sakit perut, yang menggenapkan "sakit" ini hampir 2 minggu... Wuih! Mungkin kalau hanya nyeri di bagian perut, masih bisa ditangani. Misalnya dengan minta tolong diusapkan campuran bawang merah dan minyak gosok atau berusaha menghubungi nenek "dato" meminta "mantra" mengobati sakit perut yang asli "bahasa mangkasara" dan rumit untuk diucapkan. Tapi kalau masalahnya adalah "bolak balik" ke "water closet" itu adalah masalah besar!
Akhirnya, saat ini alhamdulillah telah kembali fit dan dapat duduk depan komputer dan mem posting ini. Sakit!!! Beribu hikmah dari hal ini. Semua hal baik terlihat pada prosesi ini. Dan semua harapan baik terwujud, dimanja Ummi dan Abah, meminta makanan apapun yang kita mau walaupun tetap tak enak untuk turun melewati indera perasa yang sedang mengalami "masalah kepahitan", dijenguk oleh saudara dan kawan serta yang tidak ketinggalan mendapati sms dengan bunyi "Kesehatanmu Adalah Nafas Hidupku!".. he2.. TAPI! Satu harapan baik yang tidak tercapai dengan maksimal, LANGSING! but it's ok, Nature Overdid a Good Thing, RIGHT? he2... Ehmmm Terimakasih Ummi, Selalu ada disampingku dan memberikan Doa-Doa terbaikmu.
Di doa Ibuku namaku di sebut
Di doa Ibu ku dengar ada namaku di sebut
Ada namaku di sebut
Subscribe to:
Posts (Atom)