For the broken heart this is a sweet lullaby..For all the weary souls please do not cry..
This lullaby is for those who can not seem to keep a piece of mind..
Trying to explain emotions And words I can not seem to find..
Saturday, November 25, 2006
Bunga-Bunga Hidup
Ehmm tadi kita dagh ngomong tentang Papua... vy setelah berkelana bersama Abah keliling Indonesia memang mentok yang lama ya di Papua ini...kurang lebih 14 tahun. Yup seperti cerita di atas... Sekarang akan mentok dalam waktu yang lama di makassar.
Then, jika ditanya apa vy ini pusing ngikut keliling bersama Abah.. Ehmm gak lah... Jelas banyak yang bisa diambil dari perjalanan yang panjang. Sedih, Suka, dan segala macam perasaan, kenangan, pengalaman adalah "Bunga-bunga Hidup". Itu kata Abah yang selalu bisa vy ingat...
Apalagi hidup di negeri Papua ini... jangan tanya berapa banyak pengalaman....
Abah... yup Abahnya vy yang telah membawa kepada satu babak dalam hidup vy... adalah hidup di Papua. Abah adalah seorang Pegawai Negeri Sipil Departemen Sosial yang sekarang jadi Dinas Kesejahteraan Sosial. Menghabiskan masa kecil hingga mengambil D3nya di Makassar. Ternyata mendapatkan Surat Keputusan penugasan kerjanya di Jayapura, Papua. Ehmm Ummi ikut donk sebagai istri, masa ditinggalin... Tidak lama setelah itu ehmmm vy lahir di Jayapura... Horeeee!!!
Ok.. Kita lanjut, setelah vy lahir, Abah tetap mondar mandir keliling dari kota ke kota di Papua... Ehmm sampai dipelosok-pelosok desa di Papua. Setelah vy agak besar Abah ngelanjutin pendidikan S1 di Bandung... Ummi ma vy ya ngikut dengan setianya... Kurang lebih 4 tahun, kulit vy yang menjadi agak putih, dan logat yang berubah karena tinggal di kota Kembang ini kemudian harus berubah lagi... Abah kembali ke Jayapura dan tetap masih ngider dari satu kota ke kota lain... Pusing? Tetap tidak!!!
Dari kecil vy sering banget diajak ma Abah ke kantor... Atau kemana saja Abah pergi. Maklum vy anak tunggal... (he2 khan gak ada lagi yg lain bisa di ajakin). Dari Abah kemudian Vy mengenal ada kehidupan lain yang jauh dari sisi ideal kehidupan itu sendiri. Abah yang memang memiliki jiwa sosial yang lebih tinggi dari orang-orang kebanyakan sering berurusan dengan orang-orang yang "bermasalah".
Vy menjadi akrab dengan anak-anak binaan Abah yang notabene adalah anak-anak nakal, atau anak-anak yang berhubungan dengan narkoba. Sangat sering Abah mengajak saat harus mendampingi mereka. Dan Abah selalu bilang "mereka sama seperti kita, manusia". Yup pada saat itu aku hanya bisa menangkap sedikit maknanya, maklum umur vy baru sekitar 7 tahun.
Dan yang lebih menarik adalah ketika vy diajak Abah berhadapan dengan orang-orang yang mengidap AIDS, ehmm umur vy waktu itu sudah bisa menangkap banyak apa itu AIDS. Pada waktu itu mungkin sedikit takut, tapi Abah yang tidak pernah lelah selau menerangkan tentang AIDS, membuat vy mengerti... Takut. Tidak lagi! Malah berusaha untuk menjalin persahabatan.
Evy ingat dengan jelas di kompleks perumahan kantor vy ada juga panti untuk para wanita-wanita Pekerja Seks Komersil (PSK). Ehm waktu itu vy merasa ini hal yang paling menarik, bagaiman PSK itu kemudian di rehabilitasi untuk hidup normal dan bersosialisasi dengan normal bersama kami, masyarakat.
Abah juga memiliki anak-anak binaan yang "tunanetra". ehm vy paling sering bergaul dengan mereka. Setiap hari malah, karena lokasi pantinya yang tidak jauh dari rumah. Ketika itu vy paling banyak mengambil pelajaran hidup dari mereka ini. Hidup adalah perjuangan. Toh hidup mereka tak terhenti karena hidup mereka yang gelap. Salut vy melihat mereka menuruni tangga dengan mandiri. Berjalan sendiri dengan perasaan, katanya... Bisa tetap bermain musik, menganyam, atau pekerjaan lain yang orang normal bisa melakukannya.
a
"Pelajaran banyak bisa diambil dari mereka" Itu juga yang dikatakan Abah ketika berusaha menanggulangi orang-orang yang terkena kusta, orang-orang yang terkena bencana, suku-suku dipedalaman Papua ketika mengahadapi kelaparan atau tidak memiliki fasilitas seperti yang kita punya.
Banyak pelajaran dari kehidupan. Jikapun terdapat kesusahan, kesedihan atau apapun yang jauh dari yang kita inginkan semuanya adalah tetap sebagai "bunga-bunga hidup".
Dan juga akan tetap ada bunga-bunga hidup saat sekarang Abah yang pindah tugas ke Maros, Sulawesi Selatan. Yang kemudian mendapat pelajaran baru lagi dari mengurus pemakaman untuk para tunawisma dan orang-orang papa yang tidak memiliki keluarga lagi.
Dan yang kembali membuat bangga adalah Abah melanjutkan pendidikan S2 yang tetap menyangkut orang-orang yang "bermasalah" yaitu bagaimana tentang kehidupan para eks narapidana dalam kehidupan bermasyarakatnya. Ehmm tetap menjalankan penelitian beliau dengan mengajak anak semata wayangnya ini untuk terus belajar tentang masyarakat.
Yup... Banyak pelajaran dari "long journey" bersama Abah.... Dan semua cerita adalah "Bunga-bunga hidup"
Then, jika ditanya apa vy ini pusing ngikut keliling bersama Abah.. Ehmm gak lah... Jelas banyak yang bisa diambil dari perjalanan yang panjang. Sedih, Suka, dan segala macam perasaan, kenangan, pengalaman adalah "Bunga-bunga Hidup". Itu kata Abah yang selalu bisa vy ingat...
Apalagi hidup di negeri Papua ini... jangan tanya berapa banyak pengalaman....
Abah... yup Abahnya vy yang telah membawa kepada satu babak dalam hidup vy... adalah hidup di Papua. Abah adalah seorang Pegawai Negeri Sipil Departemen Sosial yang sekarang jadi Dinas Kesejahteraan Sosial. Menghabiskan masa kecil hingga mengambil D3nya di Makassar. Ternyata mendapatkan Surat Keputusan penugasan kerjanya di Jayapura, Papua. Ehmm Ummi ikut donk sebagai istri, masa ditinggalin... Tidak lama setelah itu ehmmm vy lahir di Jayapura... Horeeee!!!
Ok.. Kita lanjut, setelah vy lahir, Abah tetap mondar mandir keliling dari kota ke kota di Papua... Ehmm sampai dipelosok-pelosok desa di Papua. Setelah vy agak besar Abah ngelanjutin pendidikan S1 di Bandung... Ummi ma vy ya ngikut dengan setianya... Kurang lebih 4 tahun, kulit vy yang menjadi agak putih, dan logat yang berubah karena tinggal di kota Kembang ini kemudian harus berubah lagi... Abah kembali ke Jayapura dan tetap masih ngider dari satu kota ke kota lain... Pusing? Tetap tidak!!!
Dari kecil vy sering banget diajak ma Abah ke kantor... Atau kemana saja Abah pergi. Maklum vy anak tunggal... (he2 khan gak ada lagi yg lain bisa di ajakin). Dari Abah kemudian Vy mengenal ada kehidupan lain yang jauh dari sisi ideal kehidupan itu sendiri. Abah yang memang memiliki jiwa sosial yang lebih tinggi dari orang-orang kebanyakan sering berurusan dengan orang-orang yang "bermasalah".
Vy menjadi akrab dengan anak-anak binaan Abah yang notabene adalah anak-anak nakal, atau anak-anak yang berhubungan dengan narkoba. Sangat sering Abah mengajak saat harus mendampingi mereka. Dan Abah selalu bilang "mereka sama seperti kita, manusia". Yup pada saat itu aku hanya bisa menangkap sedikit maknanya, maklum umur vy baru sekitar 7 tahun.
Dan yang lebih menarik adalah ketika vy diajak Abah berhadapan dengan orang-orang yang mengidap AIDS, ehmm umur vy waktu itu sudah bisa menangkap banyak apa itu AIDS. Pada waktu itu mungkin sedikit takut, tapi Abah yang tidak pernah lelah selau menerangkan tentang AIDS, membuat vy mengerti... Takut. Tidak lagi! Malah berusaha untuk menjalin persahabatan.
Evy ingat dengan jelas di kompleks perumahan kantor vy ada juga panti untuk para wanita-wanita Pekerja Seks Komersil (PSK). Ehm waktu itu vy merasa ini hal yang paling menarik, bagaiman PSK itu kemudian di rehabilitasi untuk hidup normal dan bersosialisasi dengan normal bersama kami, masyarakat.
Abah juga memiliki anak-anak binaan yang "tunanetra". ehm vy paling sering bergaul dengan mereka. Setiap hari malah, karena lokasi pantinya yang tidak jauh dari rumah. Ketika itu vy paling banyak mengambil pelajaran hidup dari mereka ini. Hidup adalah perjuangan. Toh hidup mereka tak terhenti karena hidup mereka yang gelap. Salut vy melihat mereka menuruni tangga dengan mandiri. Berjalan sendiri dengan perasaan, katanya... Bisa tetap bermain musik, menganyam, atau pekerjaan lain yang orang normal bisa melakukannya.
a
"Pelajaran banyak bisa diambil dari mereka" Itu juga yang dikatakan Abah ketika berusaha menanggulangi orang-orang yang terkena kusta, orang-orang yang terkena bencana, suku-suku dipedalaman Papua ketika mengahadapi kelaparan atau tidak memiliki fasilitas seperti yang kita punya.
Banyak pelajaran dari kehidupan. Jikapun terdapat kesusahan, kesedihan atau apapun yang jauh dari yang kita inginkan semuanya adalah tetap sebagai "bunga-bunga hidup".
Dan juga akan tetap ada bunga-bunga hidup saat sekarang Abah yang pindah tugas ke Maros, Sulawesi Selatan. Yang kemudian mendapat pelajaran baru lagi dari mengurus pemakaman untuk para tunawisma dan orang-orang papa yang tidak memiliki keluarga lagi.
Dan yang kembali membuat bangga adalah Abah melanjutkan pendidikan S2 yang tetap menyangkut orang-orang yang "bermasalah" yaitu bagaimana tentang kehidupan para eks narapidana dalam kehidupan bermasyarakatnya. Ehmm tetap menjalankan penelitian beliau dengan mengajak anak semata wayangnya ini untuk terus belajar tentang masyarakat.
Yup... Banyak pelajaran dari "long journey" bersama Abah.... Dan semua cerita adalah "Bunga-bunga hidup"
MISS PAPUA SO !!!
Kangen banget!!! Kemaren sempat nonton acara di TV yang nayangin
PAPUA gitu!! Waduhh jadinya kangen banget..
Kangen ma pantainya..
Kangen ma honainya..
Kangen ma orang2nya..
Kangen ma warung papedanya..
Kangen ma tweesties..
Kangen makan pinang lagi..
Ehmm kangen ma smua2nya degh !!!
Papua jadi gimana sekarang yagh!! Ehmm dagh lama banget gak jalan2 kesana, kira2 sekitar…6 taon!! Lama khan!! Waktu vy tinggalin keadaannya masih sangat seadanya... katanya sepupu vy yang dari sana neh PAPUA dah maju banget! Waduh salut.. salut!!
Vy lahir dan besar di PAPUA. Walaupun sempat keliling Indonesia eh mentoknya ke PAPUA juga, pindah ke MAKASSAR sekitar taon 99, pas mo ke SMA. Tinggal di PAPUA kurang lebih 15 taon itu membuat PAPUA jadi mendarah daging. :p
Vy tinggal di daerah gunung.. masih inget neh waktu SD dulu turun gunung dan naik gunung.. ehmm di kompleks vy tugh gak ada angkot, gimana juga angkot mo naik gunung jadi pulang pergi sekolah kaki ini yang dipakai. Tapi pas SMP dah lumayanlah, vy ma anak2 kompleks pada di sewain angkot tuk antar pulang jemput. Ato kalo kadang gak ngejemput udah ada ojek… Ehmmm ntar malah ditaksir ma tukang ojeknya... wakaka
Yang vy gak bisa lupain kalo sore jalan ma anak2 kompleks ke gunung belakang rumah, mandi2 di kali. Trus juga jalan2 ke perkampungan yang masih asli orang2nya tingal di dalam honai2.. NICE banget! Swear!
Dulu nih vy inget banget, ehm ada satu bioskop namanya Bioskop Imbi, dinamain itu karena letaknya tepat di taman Imbi. Vy ma temen-temen sering banget kesana, karena cuma itu satu pusat keramaian di kota Jayapura selain itu yagh di daerah Abepura yang letaknya lumayan jauh dari kota Jayapura... jadi cuma itu jadi sentra masyarakat tuk rame-rame. Palagi kalo malam mingguan, walahhh rame banget... Tapi kata sepupu vy lagi, bioskop itu dagh gak ada sekarang>>> Jadi kalo orang mo nonton bioskop, dimana yaaa????!!!
Setiap hari selama kurang lebih 14 tahun vy ngeliat bagaimana orang2 PAPUA itu hidup. Mereka hidup dari hasil alam, menjual hasil berkebun mereka, walaupun dengan harga yang relatif murah. Mereka menikmati kehidupan mereka walaupun rata2 hidup dalam kekurangan. Tidak pernah merasa terbebani dengan hidup mereka, hidup saling mengisi dan berbagi...
Oh iya ada yang menarik nih. Dulu waktu masih di PAPUA ada Koran setempat yang menampilkan cerita tentang kehidupan sehari2 orang PAPUA dengan dialek khas PAPUA. Vy inget kolom yang disediakan gak terlalu besar, tapi menghibur banget. Kadang neh tertawa terpingkal-pingkal. Nama artikelnya yaitu “WARUNG PAPEDA”. Vy sempet bikin kliping WARUNG PAPEDA ini. Pengennya sih tiap minggu di blog pengen ada juga "WARUNG PAPEDA" ini....
Kangen ma pantainya..
Kangen ma honainya..
Kangen ma orang2nya..
Kangen ma warung papedanya..
Kangen ma tweesties..
Kangen makan pinang lagi..
Ehmm kangen ma smua2nya degh !!!
Papua jadi gimana sekarang yagh!! Ehmm dagh lama banget gak jalan2 kesana, kira2 sekitar…6 taon!! Lama khan!! Waktu vy tinggalin keadaannya masih sangat seadanya... katanya sepupu vy yang dari sana neh PAPUA dah maju banget! Waduh salut.. salut!!
Vy lahir dan besar di PAPUA. Walaupun sempat keliling Indonesia eh mentoknya ke PAPUA juga, pindah ke MAKASSAR sekitar taon 99, pas mo ke SMA. Tinggal di PAPUA kurang lebih 15 taon itu membuat PAPUA jadi mendarah daging. :p
Vy tinggal di daerah gunung.. masih inget neh waktu SD dulu turun gunung dan naik gunung.. ehmm di kompleks vy tugh gak ada angkot, gimana juga angkot mo naik gunung jadi pulang pergi sekolah kaki ini yang dipakai. Tapi pas SMP dah lumayanlah, vy ma anak2 kompleks pada di sewain angkot tuk antar pulang jemput. Ato kalo kadang gak ngejemput udah ada ojek… Ehmmm ntar malah ditaksir ma tukang ojeknya... wakaka
Yang vy gak bisa lupain kalo sore jalan ma anak2 kompleks ke gunung belakang rumah, mandi2 di kali. Trus juga jalan2 ke perkampungan yang masih asli orang2nya tingal di dalam honai2.. NICE banget! Swear!
Dulu nih vy inget banget, ehm ada satu bioskop namanya Bioskop Imbi, dinamain itu karena letaknya tepat di taman Imbi. Vy ma temen-temen sering banget kesana, karena cuma itu satu pusat keramaian di kota Jayapura selain itu yagh di daerah Abepura yang letaknya lumayan jauh dari kota Jayapura... jadi cuma itu jadi sentra masyarakat tuk rame-rame. Palagi kalo malam mingguan, walahhh rame banget... Tapi kata sepupu vy lagi, bioskop itu dagh gak ada sekarang>>> Jadi kalo orang mo nonton bioskop, dimana yaaa????!!!
Setiap hari selama kurang lebih 14 tahun vy ngeliat bagaimana orang2 PAPUA itu hidup. Mereka hidup dari hasil alam, menjual hasil berkebun mereka, walaupun dengan harga yang relatif murah. Mereka menikmati kehidupan mereka walaupun rata2 hidup dalam kekurangan. Tidak pernah merasa terbebani dengan hidup mereka, hidup saling mengisi dan berbagi...
Oh iya ada yang menarik nih. Dulu waktu masih di PAPUA ada Koran setempat yang menampilkan cerita tentang kehidupan sehari2 orang PAPUA dengan dialek khas PAPUA. Vy inget kolom yang disediakan gak terlalu besar, tapi menghibur banget. Kadang neh tertawa terpingkal-pingkal. Nama artikelnya yaitu “WARUNG PAPEDA”. Vy sempet bikin kliping WARUNG PAPEDA ini. Pengennya sih tiap minggu di blog pengen ada juga "WARUNG PAPEDA" ini....
”Dari Perkosaan Menuju Perdagangan Seks”
Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anak-anak). Jangan pernah berpikir bahwa kejahatan seksual ini jauh dari lingkungan kita, Tidak!!!! Dekat bahkan sangat dekat!!!!
Kami perempuan dan anak-anak di bawah umur dijadikan sebagai objek komoditas (perdagangan) atau pemuas nafsu bejat (animalistik) dari seseorang dan kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna meraih keuntungan ekonomi berlipat ganda...
Harian Kompas dalam laporannya yang berjudul ”Perdagangan Anak Untuk Bisnis Seks Merajalela” (19 April 2006:7) menyebutkan, bahwa ”anak-anak Asia mengahadapi ancaman meluasnya jaringan perdaganagan seks internasional”
Menurut catatan data anak-anak internasional PBB, UNICEF (United Nations International Children’s Fund) menyebutkan bahwa setiap tahun sekurang-kurangnya ada sejuta anak yang menjadi korban perdagangan seks di seluruh dunia. Sebagian mereka dari kawasan Asia.
Kasus Perdaganagn sekss yang menepatkan anak-anak di bawah umur sebagai korbannya, cukup sering kita dengar jika kasus itu diawali dengan jalan penipuan, menjadi korabn perkosaan dan atau diserahkan pada pembeli untuk dijadikan objek pemuas seksual seperti pencabulan dan perkosaan.
Sebagai contoh, ”beberapa tahun terakhir ini di sepanjang wilayah Sungai Mekhong, jumlah anak yang menjadi korban perdagangan, pencabulan, perkosaan dan penyimpangan seks melonjak. Di Thailand sekitar 800.000 anak menjadi pekerja seks. Beberapa gadis kecil Vietnam usia 13-15 tahun belakangan banyak ditemukan di sejumlah rumah-rumah bordil di Phnom Phen, Kamboja”.
Di New Delhi, harga seorang anak pemuas seks tidak lebih dari Rp. 3.500,-. Di bawah 6 tahun harganya bisa meningkat. Di Hongkong, gadis kecil dibeli seharga Rp. 325 ribu. Di Malaysia, harga anak perawan mencapai 4 juta. Namun tidak semua anak-anak menjadi pelacur karena diculik dan dipaksa. Ada pula yang terjun ke prostitusi lantaran terdesak kemiskinan dan dijual kedua orang tuanya.
Kasus perdagangan seksual anak-anak wanita di bawah umur itu menunjukkan bahwa realitasnya hak asasi perempuan untuk menikmatai kedamainan dan kebahagiaan sudah dilanggar sejak usia dini. Hak hidup bermartabat dan bebas dari bahaya yang mengancam dirinya telah direduksi oleh tindak kejahatan.
Kasus itu menunjukkan adanya hubungan antara kejahatan perdagangan (pelacuran) terhadap anak-anak perempuan di bawah umur dengan kejahatan seksual lainnya seperti pencabulan dan perkosaan. Tidak sedikit anak-anak di bawah umur dan perempuan dewasa yang menjadi korban kekerasan seksual ini. Kekerasan terhadap perempuan ditengarai berakar dari sistem tata nilai yang mendudukan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan rendah dibandingkan laki-laki.
Kekerasan terhadap perempuan juga dapat diawali dari praktek intimidasi, penyalahgunaan kepercayaan dalam pergaulan remaja dan hilangnya hati nurani pelakunya. Contohnya kasus siswi SMP dijual temannya sendiri hingga hamil atau kemudian dipaksa dan diintimidasi menjadi pelacur.
Masalah perkosaan yang dialami perempuan merupakan contoh kerendahan posisi perempuan terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah menempatkan dirinya sebagai objek seksual laki-laki ternyata berimplikasi jauh. Dalam kehidupan kesehariannya, perempuan senantiasa berhadapan dengan kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik dan psikis. Oleh karena itu, perkosaan bukan hanya cerminan dari citra perempuan sebagai objek seks, melainkan sebagai objek kekuasaan laki-laki.
Kami perempuan dan anak-anak di bawah umur dijadikan sebagai objek komoditas (perdagangan) atau pemuas nafsu bejat (animalistik) dari seseorang dan kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna meraih keuntungan ekonomi berlipat ganda...
Harian Kompas dalam laporannya yang berjudul ”Perdagangan Anak Untuk Bisnis Seks Merajalela” (19 April 2006:7) menyebutkan, bahwa ”anak-anak Asia mengahadapi ancaman meluasnya jaringan perdaganagan seks internasional”
Menurut catatan data anak-anak internasional PBB, UNICEF (United Nations International Children’s Fund) menyebutkan bahwa setiap tahun sekurang-kurangnya ada sejuta anak yang menjadi korban perdagangan seks di seluruh dunia. Sebagian mereka dari kawasan Asia.
Kasus Perdaganagn sekss yang menepatkan anak-anak di bawah umur sebagai korbannya, cukup sering kita dengar jika kasus itu diawali dengan jalan penipuan, menjadi korabn perkosaan dan atau diserahkan pada pembeli untuk dijadikan objek pemuas seksual seperti pencabulan dan perkosaan.
Sebagai contoh, ”beberapa tahun terakhir ini di sepanjang wilayah Sungai Mekhong, jumlah anak yang menjadi korban perdagangan, pencabulan, perkosaan dan penyimpangan seks melonjak. Di Thailand sekitar 800.000 anak menjadi pekerja seks. Beberapa gadis kecil Vietnam usia 13-15 tahun belakangan banyak ditemukan di sejumlah rumah-rumah bordil di Phnom Phen, Kamboja”.
Di New Delhi, harga seorang anak pemuas seks tidak lebih dari Rp. 3.500,-. Di bawah 6 tahun harganya bisa meningkat. Di Hongkong, gadis kecil dibeli seharga Rp. 325 ribu. Di Malaysia, harga anak perawan mencapai 4 juta. Namun tidak semua anak-anak menjadi pelacur karena diculik dan dipaksa. Ada pula yang terjun ke prostitusi lantaran terdesak kemiskinan dan dijual kedua orang tuanya.
Kasus perdagangan seksual anak-anak wanita di bawah umur itu menunjukkan bahwa realitasnya hak asasi perempuan untuk menikmatai kedamainan dan kebahagiaan sudah dilanggar sejak usia dini. Hak hidup bermartabat dan bebas dari bahaya yang mengancam dirinya telah direduksi oleh tindak kejahatan.
Kasus itu menunjukkan adanya hubungan antara kejahatan perdagangan (pelacuran) terhadap anak-anak perempuan di bawah umur dengan kejahatan seksual lainnya seperti pencabulan dan perkosaan. Tidak sedikit anak-anak di bawah umur dan perempuan dewasa yang menjadi korban kekerasan seksual ini. Kekerasan terhadap perempuan ditengarai berakar dari sistem tata nilai yang mendudukan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan rendah dibandingkan laki-laki.
Kekerasan terhadap perempuan juga dapat diawali dari praktek intimidasi, penyalahgunaan kepercayaan dalam pergaulan remaja dan hilangnya hati nurani pelakunya. Contohnya kasus siswi SMP dijual temannya sendiri hingga hamil atau kemudian dipaksa dan diintimidasi menjadi pelacur.
Masalah perkosaan yang dialami perempuan merupakan contoh kerendahan posisi perempuan terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah menempatkan dirinya sebagai objek seksual laki-laki ternyata berimplikasi jauh. Dalam kehidupan kesehariannya, perempuan senantiasa berhadapan dengan kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik dan psikis. Oleh karena itu, perkosaan bukan hanya cerminan dari citra perempuan sebagai objek seks, melainkan sebagai objek kekuasaan laki-laki.
Thursday, November 23, 2006
Betina - Wanita - Perempuan
Dari milis Sastra-Pembebasan
Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik
Sudarwati
D. Jupriono
Marilah Kita Dudukkan Masalahnya
Perbedaan makna kata betina dengan wanita atau betina dengan perempuan itu sudah jelas bagi kita. Akan tetapi, apa beda antara wanita dan perempuan ini yang belum jelas! Telaah ini memang mencoba mendudukkan posisi tiap kata, kapan orang harus menggunakannya sesuai dengan kandungan semantisnya dan maksud yang diinginkan. Dengan demikian, diharapkan segera bisa dijawab saat harus memilih manakah yang tepat: "Darma Wanita" ataukah "Darma Perempuan", "Pemberdayaan Perempuan" ataukah "Pemberdayaan Wanita", misalnya.
Telaah dilakukan berdasarkan arti kata leksikal dasarnya, menurut kamus (semantik leksikal) (cf. Hurford dan Heasley, 1984). Lalu, penjelajahan arti akan dilengkapi dengan memanfaatkan beberapa hasil penelitian yang ada, terutama tentang sejarah perubahan makna kata (semantik historis) (Palmer, 1986: 8-11). Kajian ini juga akan melihat bagaimana arti kata dalam pemakaian (pragmatik). Data dijaring dengan teknik dokumentasi acak dari kamus dan teknik studi pustaka terhadap tulisan yang relatif lama serta teknik rekaman tuturan keseharian. Dengan metode deskriptif, data akan dianalisis dengan teknik eksplanatori-komparatif, yang akan menjelasan perbandingan arti kata antar waktu.
Apa Arti Betina?
Kata betina diduga kuat berhubungan dengan kata batina dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) ("Kamus Jawa Kuno Indonesia", Mardiwarsito, 1986). Bahasa Kawi sendiri kemungkinan besar menyerapnya dari bahasa Sanskrit (Sanskerta). Relasi fonis batina dengan betina beranalogi dengan relasi fonis mahardika-mardika-merdeka 'bebas'. Mungkin ini juga analog dengan saksama-seksama (?).
Menurut "Kamus Dewan" (KD) (Iskandar, 1970: 114), kata betina merupakan antonim jantan. Dalam pemakaiannya, betina cocok dilekatkan sebagai pemarkah jenis (gender) binatang atau benda yang tidak hidup. Misalnya dalam bahasa Indonesia (Melayu) kita temui ayam betina, singa betina, bunga betina, dan embun betina.
Tidak jauh berbeda dengan KD, "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (KBBI) (Tim, 1988: 111) menambahi satu makna lagi untuk betina, yakni 'sanak keponakan dari istri'. Ada dua hal yang dapat dicatat dari tambahan acuan di sini. Pertama, istilah "sanak keponakan" menunjukkan posisi generasi lebih muda. Sebagai yang lebih muda, tentu dia tetap berada di bawah generasi lebih tua. Kedua, pernyataan "dari istri" berarti bahwa yang dipandang bawah, yunior, itu karena istri, dan istri selalu perempuan! Oleh karena itu, ini juga menyiratkan muatan semantis bahwa apa yang datang dari istri (bukan suami) akan ditempatkan di bawah suami.
Sebagai nama jenis kelamin binatang, betina tidak mengundang persoalan; netral saja. Tidak ada muatan nuansa apa pun. Bagaimana seandainya kata ini dipakai untuk manusia? Ini baru masalah! Jika dikaitkan dengan aktivitas, keberadaan, dan sifat manusia, artinya menjadi tidak netral lagi. Peribahasa Melayu "Baik jadi ayam betina sepaya selamat" (Iskandar, 1970: 114), misalnya, berarti 'kita tak usah menonjolkan keberanian sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka'; dengan kata lain, 'sebaiknya kita diam, tak usah macam-macam, hindarilah tantangan'. Dengan demikian "bersikap betina" justru dinilai positif dalam pandangan lama.
Bisa dimengerti, sebagai peribahasa Melayu Kuno, kandungan nilai peribahasa ini juga tradisional, konvensioanl, dan feodal. Dalam pandangan tradisional, sikap individualistik mesti dihindari (cf. Dananjaya, 1984). Ini jelas bertolak belakang dengan pandangan modern, yang menempatkan eksistensi individu pada tempat yang diakui. Oleh karena itu, penonjolan individu tidak selalu jelek, bergantung pada konteks kepentingannya.
Dalam pemakaiannya sekarang, kata betina yang dikenakan pada manusia akan menemukan makna buruk. Misalnya pada wacana berikut:
(1) Kamu ini kok cerewet banget sih. Urus saja diri sendiri. Ngapain tanya urusan orang segala. Dasar betina!
(2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.
Dalam wacana (1), kalimat "Dasar betina" bermakna negatif: 'cerewet, usil, mau tahu urusan orang saja'. Dalam kalimat (2), pernyataan "benar-benar betina", berdasarnya konteks kalimatnya, berarti "minor" juga: 'nympomania'. Di sini Winda digambarkan sebagai perempuan yang bernafsu menggebu-gebu, selingkuh dengan lelaki lain. Pada konteks inilah betina menemukan makna buruknya. Harus diakui bahwa semua pandangan ini tidak pernah bebas dari stereotipe gender perempuan dari masyarakat kita (Kweldju, 1993). Maka, dalam kondisi apa pun tak pernah ada yang senang disebut betina. Dengan demikian, yang muncul adalah Darma Wanita (organisasi ibu-ibu pegawai) dan Bukan Perempuan Biasa dan tentulah tentu bukan "*Darma Betina" atau pun "*Bukan Betina Biasa".
Singkat kata, kata betina memuat makna (1) 'jenis kelamin binatang', (2) 'cerewet, usil, dan (3) 'haus seks', serta (4) 'generasi yunior dari garis istri'.
Apa Arti Wanita?
Sejarah kontemporer bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu ("Kamus Linguistik", Kridalaksana, 1993: 12).
Menurut KD (1970: 1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Pada halaman yang sama, dicontohkan frase wanita-wanita genit. Contoh ini paradoksal. Sebab, jika wanita berupakan bentuk halus, mengapa ada kata genit-nya, sesuatu yang jelas tidak halus. Tetapi, ini juga menyiratkan pandangan bahwa kata itu memang khas untuk manusia (perempuan), bukan lelaki, binatang, demit, ataukah benda lain.
Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi', 'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami,1) jangan bermimpi bisa independen memang bukan itu misinya.
Dalam KBBI (1988: 1007), wanita berarti 'perempuan dewasa'. Sama seperti halnya KD, meski dengan redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan kewanitaan (bentuk derivasinya) sebagai "yang berhubungan dengan wanita, sifat-sifat wanita, keputrian". Muatan makna aktif, menuntut hak, radikal, tak ada dalam arti kata ini.
Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti 'yang diinginkan'. Arti 'yang dinginkan' dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah 'sesuatu yang diinginkan pria'. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang "lawan mainnya", ya pria itu. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka. Adakah yang lebih rendah dari "hanya menjadi objek"?
Makna wanita sebagai 'sasaran keinginan pria' juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Slametmuljana dalam "Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara" (1964: 59--62). Kata wanita, dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah (marked) jenis kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa (Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan nilai positif.
Ada juga pandangan lain, yang cukup "menyakitkan", yakni bahwa kata wanita bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik sering disebut gejala bahasa) metatesis2) dan proses perubahan kontoid3) dari kata betina. Urutan prosesnya demikian.
Mula-mula kata betina menjadi batina; kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari [b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata berasal dari kata rendah betina.
Mungkin karena itulah, organisasi "Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia" (Iwapi) sering dipelesetkan artinya tentu saja, oleh pria menjadi "Iwak-e Papi-papi", "Dagingnya bapak-bapak" atau "Lauknya Bapak-bapak" seakan wanita itu tak lebih dari "daging" atau "lauk-pauk" yang bisa dikonsumsi oleh pria. Dalam karier militer pun, dipakai wanita. Misalnya saja "Korps Polisi Wanita" (Polwan, 1948), "Korps Wanita Angkatan Darat" (Kowad, 1961), "Korps Wanita Angkatan Laut" (Kowal, 1962), "Korps Wanita Angkatan Udara" (Wara, 1963). Meskipun begitu, pelecehen keterlibatan dan kemampuan wanita dalam tubuh ABRI pun masih terjadi. Terang-terangan memang tidak, tetapi ada dalam bentuk ungkapan humor di masyarakat (Dananjaya, 1984), misalnya berikut ini.
Seorang komandan serdadu pada suatu front peperangan memerintahkan penarikan mundur khusus serdadu wanita. Alasannya, mereka melanggar disiplin medan. Serdadu-serdadu wanita, yang merasa tidak membuat kesalahan disiplin militer, memprotes ramai-ramai. "Kesalahan??? Kesalahan apa itu, Komandan? Ini tidak adil!" Jawab Komandan dengan kalem, "Kamu sih, setiap diberi komando ? 'tiaraaap ...', ee kamu malah terlentang."
Ini merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di di bawah gegap gempitanya superioritas pria.
Berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada pria. Sering ada ungkapan "pejang gesang kula ndherek" (hidup atau mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut" (suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami "jawanisasi" atau "kramanisasi": kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu.
Dalam persepsi kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat ketika ia "dipakai" salah satu barang klangenan (barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta, senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi (tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di sini tampak benar bahwa manusia wanita disederajatkan dengan benda-benda mati semacam degradasi harkat martabat salah satu gender5), sekaligus dehumanisasi.> > Dengan demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti 'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang demikian?
Apa Arti Perempuan?
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).
Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam pembangunan.
Dalam KD (1970: 853), kata perempuan berarti 'wanita', 'lawan lelaki', dan 'istri' . Menurut KD, ada kata raja perempuan yang berarti 'permaisuri'. Dengan contoh ini kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu, kata keperempuanan berarti 'perihal perempuan', maksudnya pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa kata ini menunjuk perempuan sebagai 'penunggu rumah'.
KBBI (1988: 670) memberikan batasan yang hampir sama dengan KD, hanya ada tambahan sedikit, tetapi justru penting, untuk kata keperempuanan. Menurut KBBI, keperempuanan juga berarti 'kehormatan sebagai perempuan'. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini makna 'kami jangan diremehkan' atau 'kami punya harga diri'.
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Ah, masa?!! Ya. Jelasnya begini.
a.. Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
b.. Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
c.. Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'. > Prof. Slametmuljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna 'kehormatan' atau 'orang terhormat'. Tetapi, yang dilihatnya di masyarakat lain lagi. Maka, ia pun tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut:
"... Yang agak aneh dalam tjara berpikir ini ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran djustru datang dari kaum wanita, terhadap suami."
Itulah sebabnya, tidak sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung lembaga pendidikan formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA, Yogyakarta), Sekretariat Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), dan Gerakan Kesadaran Perempuan--sekadar menyebut beberapa contoh. Menarik untuk dicontohkan di sini bahwa nama jurnal keperempuanan terbitan LIPI adalah "Warta Studi Perempuan" dan bukan *Warta Studi Wanita. Sementara itu, jika dahulu "Women Study" diterjemahkan menjadi "Kajian Wanita", sekarang muncul saingan baru, "Studi Perempuan".
Dari sudut sejarah pergerakan nasional pun, kata perempuanlah yang telah menyumbangkan kontribusi historisnya. Kita ingat, kongres pertama organisasi "lawan tanding lelaki" ini dinamainya "Kongres Perempoean Indonesia Pertama, yang berlangsung pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta (Rahayu, 1996).6) Dalam Kongres I ini disepakati bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila susunan masyarakatnya tidak terjajah. Langkah organisasi pertama yang dilakukan adalah membentuk "Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" (PPPI). Bahwa dalam perjalanan sejarah lahir Kowani, Perwari, Perwani, KNKWI, BMOIWI, Ikwandep perhatikan, selalu ada huruf /W/ setidaknya itulah jejak-jejak historis lingual bahwa kita lebih memilih "wanita", dan bukan "perempuan", sebab yang kita kehendaki bukan perempuan mandiri, melainkan perempuan penurut. (Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah setelah lebih dari setengah abad kemerdekaan ini kaum perempuan telah mencapai persamaan derajat, seperti> impian Kongres I).
Sejak kemerdekaan, seperti disebut di atas, derap Kongres Perempoewan Indonesia sudah (di)musnah(kan) dari peredaran. Muncul pengganti-penerusnya: Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sejak menjelang kemerdekaan, yang relatif lunak, umumnya terdiri atas para istri pegawai. Mungkin sejak inilah wanita secara resmi menggeser perempuan. Sejak saat itu setiap partai-partai politik di Indonesia juga mempunyai anak organisasi wanita, bukan perempuan, misalnya Wanita Demokrat dan Gerakan Wanita Marhaen (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, PKI), dan pasca-1965 ada Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), serta Dharma (1974) (Rahayu, 1996: 30-31).> > Perempuan Disembah-sembah, Itu Dulu ...
Dahulu sesuatu yang bersifat perempuan dihormati, dijunjung tinggi. Dalam hal ini kita tak lagi mempersoalkan perbedaan istilah wanita, perempuan, betina, atau pun ibu, bunda, mbaktu, biyung, mama, dewi, putri, ratu. Kita bicarakan hal itu secara global saja. Dahulu kaum ibu dikatakan sebagai "tiang masyarakat", diluhurkan sebagai "ratu kehidupan", dan dimitoskan sebagai "danyang kesuburan alam semesta", serta disembah-sembah ? sebagai "penentu awal kehidupan manusia di bumi".
Zaman sekarang kaum ibu selalu dituding sebagai sumber kesalahan, terutama berhubungan dengan kenakalan anak-anak. Bukankah mendidikan anak itu tugas seorang ibu, bukan bapak? Karena perempuan mengalami domestifikasi peran, bila terjadi kericuhan keluarga, ibulah yang layak dikorbankan sebagai kambing hitam. "Ini gara-gara terlalu kau manja," atau juga "coba, kalau kamu mendidiknya benar, anak kita tidak binal seperti ini," begitu kata ayah. Dahulu, nasib ibu tidak seburuk ini, tidak dituding sebagai biang kerok perkara. Dia sangat dibela, dibersihkan dari tuduhan. Posisinya sebagai peletak awal kehidupan manusia sangat menentukan, karena dari guwagarba rahimnyalah, manusia di bumi ini berasal. Oleh karena itu, jika ada anak yang nakal, ibu akan dibela, sehingga ungkapan yang muncul adalah "Bukan salah bunda mengandung" dan bukan ungkapan "*Bukan salah ayahnda menghamili" atau "*Bukan salah ayahnda membuahi". Ini bukti pengakuan bahwa mengandung itu lebih bernilai tinggi> daripada menghamili (Kweldju, 1991). Karena yang mengandung itu biasanya ibu, ibulah yang lebih diharga.
Pelesetan-pelesetan di masyarakat terhadap kata-kata tertentu juga menggambarkan seberapa jauh nilai dominasi pria terhadap wanita ini hendak menandingi pemahaman masyarakat terhadap hakikat suatu kata. Semula, berdasarkan etimologi rakyat (jarwodosok, keratabasa) Jawa, kata "garwo", misalnya, dipersepsi sebagai "sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Di sini, kedudukan seorang istri cukup terhormat, sejajar, sama, segaris, dan komplementer dengan suami; tidak ada nuansa dominasi dan subordinasi antargender. Memang, garwo adalah kata yang netral, egaliter, tidak memihak salah satu jenis kelamin (bias gender). Ia bisa mengacu baik kepada "garwo jaler" (suami) maupun "garwo estri" (istri). Akan tetapi, selanjutnya inilah kurang ajarnya pemahaman terhadap kata garwo telah dipelesetkan sebagai "sigar tur dowo" (terbelah dan lagi panjang), sesuatu yang bisa mengundang kesan porno dan pelecehan. Tidak sulit ditebak siapa pelaku pemelesetan ini: pastilah dari barisan pria.> > Tidak hanya persepsi kultural masyarakat, agama pun meletakkan ibu pada posisi sangat terhormat. Dalam Islam, misalnya, ada hadis yang sangat terkenal berkenaan dengan ini, yakni "Surga itu di bawah telapak kaki ibu". Maka, menurut pandangan ini, tempat berbakti adalah ibu, ibu, dan ibu, kemudian baru ayah. Mungkin karena kecemburuan religiusitas-gender, di masyarakat kami pernah mendengar pelesetan sinis terhadap ini tentu saja dari kaum bapak.7) Surah paling Al-Fatihah, saripati dari semua surah dalam Kitab Suci Quran, misalnya, disebut "Ummul Qur'an" dan bukan "Abul Qur'an" (Nadjib, 1996). Dalam agama lain pun kurang lebih sama. Begitulah ...
Perempuan Indonesia, Akan ke Manakah Anda?
Di sini jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja". Setuju?
Bisa dipastikan siapa pun akan ragu, jika hati harus lebih berpihak pada perempuan daripada pada wanita. Justru, itulah bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat mana pun, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?
Catatan
a.. Orde Baru merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadarma): (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, (4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. Perhatikan, di sini yang dinomorsatukan adalah kewajiban istri sebagai istri mendampingi sang suami tercinta. Sementara, urusan bergerak di sektor publik (di luar rumah) menduduki nomor bungsu, artinya tidak dipentingkan. Ini terjadi sebab ada anggapan bahwa di luar rumah itu urusan lelaki, sedang di dalam rumah (sektor domestik) inilah tempat tepat wanita. Periksa: Binny Buchori & Ifa Soenarto, "Mengenal Dharma Wanita". Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hal. 172-193); juga: Ruth I. Rahayu,> "Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an. Prisma XXV/5, Mei 1996: 29-42. >
b.. Metatesis adalah gejala perubahan (pertukararn) letak huruf, bunyi, atau sukukata dalam suatu kata (Kridalaksana, 1993:136). Misalnya rontal menjadi lontar, sapu<-->usap; dalam bahasa Jawa misalnya kelek<-->lekek 'ketiak'. Dalam bahasa Inggris ada flim<-->film, brid<-->bird (Jack Richards, John Platt, dan Heidi Weber, 1987: 176), aks<-->ask (Crystal, 1985: 194). > -->-->-->-->-->
c.. Proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dalam bahasa-bahasa di Nusantara dirumuskan dalam hukum-hukum perubahan bunyi. Salah satunya adalah perubahan [w] dalam bahasa Jawa atau Jawa Kuno menjadi [b] dalam bahasa Melayu (Indonesia) (Slametmulyana, 1964; Wojowasito, 1965; Keraf, 1987). Misalnya awu-->abu, watuk-->batuk, sewelas-->sebelas, wulan-->bulan. >
d.. Raja, sultan, adipati, bangsawan, pada zaman dahulu umumnya memiliki banyak istri dan selir. Misalnya, Paku Buana IV (Surakarta) mengumpuli 25 istri dan selir; Hamengku Buwono II (Ngayogyakarta Hadiningrat) menyimpan 33 istri dan selir. Tujuan memiliki banyak wanita adalah menghindari kejahatan seksual dan mencapai konsolidasi kekuasaan politik untuk mengesankan bahwa pemimpin itu lelaki luar biasa sakti mandraguna (super human). Periksa: G. Moedjanto, "Selir", Basis, Januari 1973; juga Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987). >
e.. Tentang konsep degradasi harkat martabat gender feminin, baca:
D. Jupriono, "Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki", FSU in the Limelight edisi nomor ini juga. >
f.. Lih. Ruth Indiah Rahayu, Opcit., hal. 29-42. Dalam artikelnya, dijelaskan bahwa perempuan dan gerakannya telah lahir jauh sebelum kemerdekaan RI. Aktivitas pergerakan perempuan terus berjalan hingga mencapai puncaknya pada 1965. Sejak itu berlakulah proses domestifikasi (pe-rumah-an) "perempuan" di segala bidang, menjadi "wanita". Tetapi, bersamaan dengan itu, bermunculan juga berbagai organisasi "keras" perempuan bergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). >
g.. Pelesetan itu demikian. "Surga ada di bawah kaki ibu", katanya, "berlaku bagi seorang anak". Bagi seorang ayah, lain lagi, yaitu "Surga itu ada di antara kedua kaki ibu"; "Ooo ... itu sih nerakanya. Setannya ya kita-kita ini. Ha ha ha ...". Bahwa itu hanya kelakar, itu jelas. Tetapi, di sisi lain, ini mungkin saja juga karena tidak tahu (menyadari) bahwa yang mereka pelesetkan adalah sabda Rasul.
Daftar Pustaka
Buchori, B. & I. Soenarto. 1996. ngenal Dharma Wanita. Hal. 172-193. Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia.
Hurford, J.R. 1984. Semantics: a Coursebook. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Iskandar, T. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran.
Kweldju, S. 1983. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi seks. Warta Studi Perempuan 4(1), 7-18.
Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Cet. III. Ende: Nusa Indah.
Nadjib, E.A. 1966. Ibu Qur'an, bukan Bapak Qur'an. Padang Mbulan, 2, April: 29-38.
Noerhadi, T. 1991. Studi Wanita di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Wanita 11--13 Juni 1991, di Wisma Kinasih, Bogor.
Palmer, F.R. 1986. Semantics. Edisi II, Cet. V. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahayu, R.I. 1996. Politik gender Orde Baru: tinjauan organisasi perempuan sejak 1980-an. Prisma 15(5), Mei: 29-42.
Richards, J., J. Platt, dan H. Weber. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Cet. II. Harlow: Longman Group UK Limited.
Slametmuljana. 1964. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suryochondro, S. 1996. Perkembangan gerakan wanita di Indonesia. Hal. 290-310. Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi I. Jakarta: Balai Pustaka dan Depdikbud.
Wojowasito, S. 1965. Linguistik: Sedjarah Ilmu (Perbandingan) Bahasa. Djakarta: Gunung Agung.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese--English Dictionary. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
________________
Sudarwati, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
D. Jupriono, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik
Sudarwati
D. Jupriono
Marilah Kita Dudukkan Masalahnya
Perbedaan makna kata betina dengan wanita atau betina dengan perempuan itu sudah jelas bagi kita. Akan tetapi, apa beda antara wanita dan perempuan ini yang belum jelas! Telaah ini memang mencoba mendudukkan posisi tiap kata, kapan orang harus menggunakannya sesuai dengan kandungan semantisnya dan maksud yang diinginkan. Dengan demikian, diharapkan segera bisa dijawab saat harus memilih manakah yang tepat: "Darma Wanita" ataukah "Darma Perempuan", "Pemberdayaan Perempuan" ataukah "Pemberdayaan Wanita", misalnya.
Telaah dilakukan berdasarkan arti kata leksikal dasarnya, menurut kamus (semantik leksikal) (cf. Hurford dan Heasley, 1984). Lalu, penjelajahan arti akan dilengkapi dengan memanfaatkan beberapa hasil penelitian yang ada, terutama tentang sejarah perubahan makna kata (semantik historis) (Palmer, 1986: 8-11). Kajian ini juga akan melihat bagaimana arti kata dalam pemakaian (pragmatik). Data dijaring dengan teknik dokumentasi acak dari kamus dan teknik studi pustaka terhadap tulisan yang relatif lama serta teknik rekaman tuturan keseharian. Dengan metode deskriptif, data akan dianalisis dengan teknik eksplanatori-komparatif, yang akan menjelasan perbandingan arti kata antar waktu.
Apa Arti Betina?
Kata betina diduga kuat berhubungan dengan kata batina dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) ("Kamus Jawa Kuno Indonesia", Mardiwarsito, 1986). Bahasa Kawi sendiri kemungkinan besar menyerapnya dari bahasa Sanskrit (Sanskerta). Relasi fonis batina dengan betina beranalogi dengan relasi fonis mahardika-mardika-merdeka 'bebas'. Mungkin ini juga analog dengan saksama-seksama (?).
Menurut "Kamus Dewan" (KD) (Iskandar, 1970: 114), kata betina merupakan antonim jantan. Dalam pemakaiannya, betina cocok dilekatkan sebagai pemarkah jenis (gender) binatang atau benda yang tidak hidup. Misalnya dalam bahasa Indonesia (Melayu) kita temui ayam betina, singa betina, bunga betina, dan embun betina.
Tidak jauh berbeda dengan KD, "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (KBBI) (Tim, 1988: 111) menambahi satu makna lagi untuk betina, yakni 'sanak keponakan dari istri'. Ada dua hal yang dapat dicatat dari tambahan acuan di sini. Pertama, istilah "sanak keponakan" menunjukkan posisi generasi lebih muda. Sebagai yang lebih muda, tentu dia tetap berada di bawah generasi lebih tua. Kedua, pernyataan "dari istri" berarti bahwa yang dipandang bawah, yunior, itu karena istri, dan istri selalu perempuan! Oleh karena itu, ini juga menyiratkan muatan semantis bahwa apa yang datang dari istri (bukan suami) akan ditempatkan di bawah suami.
Sebagai nama jenis kelamin binatang, betina tidak mengundang persoalan; netral saja. Tidak ada muatan nuansa apa pun. Bagaimana seandainya kata ini dipakai untuk manusia? Ini baru masalah! Jika dikaitkan dengan aktivitas, keberadaan, dan sifat manusia, artinya menjadi tidak netral lagi. Peribahasa Melayu "Baik jadi ayam betina sepaya selamat" (Iskandar, 1970: 114), misalnya, berarti 'kita tak usah menonjolkan keberanian sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka'; dengan kata lain, 'sebaiknya kita diam, tak usah macam-macam, hindarilah tantangan'. Dengan demikian "bersikap betina" justru dinilai positif dalam pandangan lama.
Bisa dimengerti, sebagai peribahasa Melayu Kuno, kandungan nilai peribahasa ini juga tradisional, konvensioanl, dan feodal. Dalam pandangan tradisional, sikap individualistik mesti dihindari (cf. Dananjaya, 1984). Ini jelas bertolak belakang dengan pandangan modern, yang menempatkan eksistensi individu pada tempat yang diakui. Oleh karena itu, penonjolan individu tidak selalu jelek, bergantung pada konteks kepentingannya.
Dalam pemakaiannya sekarang, kata betina yang dikenakan pada manusia akan menemukan makna buruk. Misalnya pada wacana berikut:
(1) Kamu ini kok cerewet banget sih. Urus saja diri sendiri. Ngapain tanya urusan orang segala. Dasar betina!
(2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.
Dalam wacana (1), kalimat "Dasar betina" bermakna negatif: 'cerewet, usil, mau tahu urusan orang saja'. Dalam kalimat (2), pernyataan "benar-benar betina", berdasarnya konteks kalimatnya, berarti "minor" juga: 'nympomania'. Di sini Winda digambarkan sebagai perempuan yang bernafsu menggebu-gebu, selingkuh dengan lelaki lain. Pada konteks inilah betina menemukan makna buruknya. Harus diakui bahwa semua pandangan ini tidak pernah bebas dari stereotipe gender perempuan dari masyarakat kita (Kweldju, 1993). Maka, dalam kondisi apa pun tak pernah ada yang senang disebut betina. Dengan demikian, yang muncul adalah Darma Wanita (organisasi ibu-ibu pegawai) dan Bukan Perempuan Biasa dan tentulah tentu bukan "*Darma Betina" atau pun "*Bukan Betina Biasa".
Singkat kata, kata betina memuat makna (1) 'jenis kelamin binatang', (2) 'cerewet, usil, dan (3) 'haus seks', serta (4) 'generasi yunior dari garis istri'.
Apa Arti Wanita?
Sejarah kontemporer bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu ("Kamus Linguistik", Kridalaksana, 1993: 12).
Menurut KD (1970: 1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Pada halaman yang sama, dicontohkan frase wanita-wanita genit. Contoh ini paradoksal. Sebab, jika wanita berupakan bentuk halus, mengapa ada kata genit-nya, sesuatu yang jelas tidak halus. Tetapi, ini juga menyiratkan pandangan bahwa kata itu memang khas untuk manusia (perempuan), bukan lelaki, binatang, demit, ataukah benda lain.
Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi', 'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami,1) jangan bermimpi bisa independen memang bukan itu misinya.
Dalam KBBI (1988: 1007), wanita berarti 'perempuan dewasa'. Sama seperti halnya KD, meski dengan redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan kewanitaan (bentuk derivasinya) sebagai "yang berhubungan dengan wanita, sifat-sifat wanita, keputrian". Muatan makna aktif, menuntut hak, radikal, tak ada dalam arti kata ini.
Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti 'yang diinginkan'. Arti 'yang dinginkan' dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah 'sesuatu yang diinginkan pria'. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang "lawan mainnya", ya pria itu. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka. Adakah yang lebih rendah dari "hanya menjadi objek"?
Makna wanita sebagai 'sasaran keinginan pria' juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Slametmuljana dalam "Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara" (1964: 59--62). Kata wanita, dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah (marked) jenis kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa (Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan nilai positif.
Ada juga pandangan lain, yang cukup "menyakitkan", yakni bahwa kata wanita bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik sering disebut gejala bahasa) metatesis2) dan proses perubahan kontoid3) dari kata betina. Urutan prosesnya demikian.
Mula-mula kata betina menjadi batina; kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari [b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata berasal dari kata rendah betina.
Mungkin karena itulah, organisasi "Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia" (Iwapi) sering dipelesetkan artinya tentu saja, oleh pria menjadi "Iwak-e Papi-papi", "Dagingnya bapak-bapak" atau "Lauknya Bapak-bapak" seakan wanita itu tak lebih dari "daging" atau "lauk-pauk" yang bisa dikonsumsi oleh pria. Dalam karier militer pun, dipakai wanita. Misalnya saja "Korps Polisi Wanita" (Polwan, 1948), "Korps Wanita Angkatan Darat" (Kowad, 1961), "Korps Wanita Angkatan Laut" (Kowal, 1962), "Korps Wanita Angkatan Udara" (Wara, 1963). Meskipun begitu, pelecehen keterlibatan dan kemampuan wanita dalam tubuh ABRI pun masih terjadi. Terang-terangan memang tidak, tetapi ada dalam bentuk ungkapan humor di masyarakat (Dananjaya, 1984), misalnya berikut ini.
Seorang komandan serdadu pada suatu front peperangan memerintahkan penarikan mundur khusus serdadu wanita. Alasannya, mereka melanggar disiplin medan. Serdadu-serdadu wanita, yang merasa tidak membuat kesalahan disiplin militer, memprotes ramai-ramai. "Kesalahan??? Kesalahan apa itu, Komandan? Ini tidak adil!" Jawab Komandan dengan kalem, "Kamu sih, setiap diberi komando ? 'tiaraaap ...', ee kamu malah terlentang."
Ini merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di di bawah gegap gempitanya superioritas pria.
Berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada pria. Sering ada ungkapan "pejang gesang kula ndherek" (hidup atau mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut" (suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami "jawanisasi" atau "kramanisasi": kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu.
Dalam persepsi kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat ketika ia "dipakai" salah satu barang klangenan (barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta, senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi (tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di sini tampak benar bahwa manusia wanita disederajatkan dengan benda-benda mati semacam degradasi harkat martabat salah satu gender5), sekaligus dehumanisasi.> > Dengan demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti 'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang demikian?
Apa Arti Perempuan?
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).
Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam pembangunan.
Dalam KD (1970: 853), kata perempuan berarti 'wanita', 'lawan lelaki', dan 'istri' . Menurut KD, ada kata raja perempuan yang berarti 'permaisuri'. Dengan contoh ini kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu, kata keperempuanan berarti 'perihal perempuan', maksudnya pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa kata ini menunjuk perempuan sebagai 'penunggu rumah'.
KBBI (1988: 670) memberikan batasan yang hampir sama dengan KD, hanya ada tambahan sedikit, tetapi justru penting, untuk kata keperempuanan. Menurut KBBI, keperempuanan juga berarti 'kehormatan sebagai perempuan'. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini makna 'kami jangan diremehkan' atau 'kami punya harga diri'.
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Ah, masa?!! Ya. Jelasnya begini.
a.. Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
b.. Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
c.. Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'. > Prof. Slametmuljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna 'kehormatan' atau 'orang terhormat'. Tetapi, yang dilihatnya di masyarakat lain lagi. Maka, ia pun tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut:
"... Yang agak aneh dalam tjara berpikir ini ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran djustru datang dari kaum wanita, terhadap suami."
Itulah sebabnya, tidak sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung lembaga pendidikan formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA, Yogyakarta), Sekretariat Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), dan Gerakan Kesadaran Perempuan--sekadar menyebut beberapa contoh. Menarik untuk dicontohkan di sini bahwa nama jurnal keperempuanan terbitan LIPI adalah "Warta Studi Perempuan" dan bukan *Warta Studi Wanita. Sementara itu, jika dahulu "Women Study" diterjemahkan menjadi "Kajian Wanita", sekarang muncul saingan baru, "Studi Perempuan".
Dari sudut sejarah pergerakan nasional pun, kata perempuanlah yang telah menyumbangkan kontribusi historisnya. Kita ingat, kongres pertama organisasi "lawan tanding lelaki" ini dinamainya "Kongres Perempoean Indonesia Pertama, yang berlangsung pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta (Rahayu, 1996).6) Dalam Kongres I ini disepakati bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila susunan masyarakatnya tidak terjajah. Langkah organisasi pertama yang dilakukan adalah membentuk "Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" (PPPI). Bahwa dalam perjalanan sejarah lahir Kowani, Perwari, Perwani, KNKWI, BMOIWI, Ikwandep perhatikan, selalu ada huruf /W/ setidaknya itulah jejak-jejak historis lingual bahwa kita lebih memilih "wanita", dan bukan "perempuan", sebab yang kita kehendaki bukan perempuan mandiri, melainkan perempuan penurut. (Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah setelah lebih dari setengah abad kemerdekaan ini kaum perempuan telah mencapai persamaan derajat, seperti> impian Kongres I).
Sejak kemerdekaan, seperti disebut di atas, derap Kongres Perempoewan Indonesia sudah (di)musnah(kan) dari peredaran. Muncul pengganti-penerusnya: Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sejak menjelang kemerdekaan, yang relatif lunak, umumnya terdiri atas para istri pegawai. Mungkin sejak inilah wanita secara resmi menggeser perempuan. Sejak saat itu setiap partai-partai politik di Indonesia juga mempunyai anak organisasi wanita, bukan perempuan, misalnya Wanita Demokrat dan Gerakan Wanita Marhaen (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, PKI), dan pasca-1965 ada Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), serta Dharma (1974) (Rahayu, 1996: 30-31).> > Perempuan Disembah-sembah, Itu Dulu ...
Dahulu sesuatu yang bersifat perempuan dihormati, dijunjung tinggi. Dalam hal ini kita tak lagi mempersoalkan perbedaan istilah wanita, perempuan, betina, atau pun ibu, bunda, mbaktu, biyung, mama, dewi, putri, ratu. Kita bicarakan hal itu secara global saja. Dahulu kaum ibu dikatakan sebagai "tiang masyarakat", diluhurkan sebagai "ratu kehidupan", dan dimitoskan sebagai "danyang kesuburan alam semesta", serta disembah-sembah ? sebagai "penentu awal kehidupan manusia di bumi".
Zaman sekarang kaum ibu selalu dituding sebagai sumber kesalahan, terutama berhubungan dengan kenakalan anak-anak. Bukankah mendidikan anak itu tugas seorang ibu, bukan bapak? Karena perempuan mengalami domestifikasi peran, bila terjadi kericuhan keluarga, ibulah yang layak dikorbankan sebagai kambing hitam. "Ini gara-gara terlalu kau manja," atau juga "coba, kalau kamu mendidiknya benar, anak kita tidak binal seperti ini," begitu kata ayah. Dahulu, nasib ibu tidak seburuk ini, tidak dituding sebagai biang kerok perkara. Dia sangat dibela, dibersihkan dari tuduhan. Posisinya sebagai peletak awal kehidupan manusia sangat menentukan, karena dari guwagarba rahimnyalah, manusia di bumi ini berasal. Oleh karena itu, jika ada anak yang nakal, ibu akan dibela, sehingga ungkapan yang muncul adalah "Bukan salah bunda mengandung" dan bukan ungkapan "*Bukan salah ayahnda menghamili" atau "*Bukan salah ayahnda membuahi". Ini bukti pengakuan bahwa mengandung itu lebih bernilai tinggi> daripada menghamili (Kweldju, 1991). Karena yang mengandung itu biasanya ibu, ibulah yang lebih diharga.
Pelesetan-pelesetan di masyarakat terhadap kata-kata tertentu juga menggambarkan seberapa jauh nilai dominasi pria terhadap wanita ini hendak menandingi pemahaman masyarakat terhadap hakikat suatu kata. Semula, berdasarkan etimologi rakyat (jarwodosok, keratabasa) Jawa, kata "garwo", misalnya, dipersepsi sebagai "sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Di sini, kedudukan seorang istri cukup terhormat, sejajar, sama, segaris, dan komplementer dengan suami; tidak ada nuansa dominasi dan subordinasi antargender. Memang, garwo adalah kata yang netral, egaliter, tidak memihak salah satu jenis kelamin (bias gender). Ia bisa mengacu baik kepada "garwo jaler" (suami) maupun "garwo estri" (istri). Akan tetapi, selanjutnya inilah kurang ajarnya pemahaman terhadap kata garwo telah dipelesetkan sebagai "sigar tur dowo" (terbelah dan lagi panjang), sesuatu yang bisa mengundang kesan porno dan pelecehan. Tidak sulit ditebak siapa pelaku pemelesetan ini: pastilah dari barisan pria.> > Tidak hanya persepsi kultural masyarakat, agama pun meletakkan ibu pada posisi sangat terhormat. Dalam Islam, misalnya, ada hadis yang sangat terkenal berkenaan dengan ini, yakni "Surga itu di bawah telapak kaki ibu". Maka, menurut pandangan ini, tempat berbakti adalah ibu, ibu, dan ibu, kemudian baru ayah. Mungkin karena kecemburuan religiusitas-gender, di masyarakat kami pernah mendengar pelesetan sinis terhadap ini tentu saja dari kaum bapak.7) Surah paling Al-Fatihah, saripati dari semua surah dalam Kitab Suci Quran, misalnya, disebut "Ummul Qur'an" dan bukan "Abul Qur'an" (Nadjib, 1996). Dalam agama lain pun kurang lebih sama. Begitulah ...
Perempuan Indonesia, Akan ke Manakah Anda?
Di sini jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja". Setuju?
Bisa dipastikan siapa pun akan ragu, jika hati harus lebih berpihak pada perempuan daripada pada wanita. Justru, itulah bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat mana pun, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?
Catatan
a.. Orde Baru merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadarma): (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, (4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. Perhatikan, di sini yang dinomorsatukan adalah kewajiban istri sebagai istri mendampingi sang suami tercinta. Sementara, urusan bergerak di sektor publik (di luar rumah) menduduki nomor bungsu, artinya tidak dipentingkan. Ini terjadi sebab ada anggapan bahwa di luar rumah itu urusan lelaki, sedang di dalam rumah (sektor domestik) inilah tempat tepat wanita. Periksa: Binny Buchori & Ifa Soenarto, "Mengenal Dharma Wanita". Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hal. 172-193); juga: Ruth I. Rahayu,> "Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an. Prisma XXV/5, Mei 1996: 29-42. >
b.. Metatesis adalah gejala perubahan (pertukararn) letak huruf, bunyi, atau sukukata dalam suatu kata (Kridalaksana, 1993:136). Misalnya rontal menjadi lontar, sapu<-->usap; dalam bahasa Jawa misalnya kelek<-->lekek 'ketiak'. Dalam bahasa Inggris ada flim<-->film, brid<-->bird (Jack Richards, John Platt, dan Heidi Weber, 1987: 176), aks<-->ask (Crystal, 1985: 194). > -->-->-->-->-->
c.. Proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dalam bahasa-bahasa di Nusantara dirumuskan dalam hukum-hukum perubahan bunyi. Salah satunya adalah perubahan [w] dalam bahasa Jawa atau Jawa Kuno menjadi [b] dalam bahasa Melayu (Indonesia) (Slametmulyana, 1964; Wojowasito, 1965; Keraf, 1987). Misalnya awu-->abu, watuk-->batuk, sewelas-->sebelas, wulan-->bulan. >
d.. Raja, sultan, adipati, bangsawan, pada zaman dahulu umumnya memiliki banyak istri dan selir. Misalnya, Paku Buana IV (Surakarta) mengumpuli 25 istri dan selir; Hamengku Buwono II (Ngayogyakarta Hadiningrat) menyimpan 33 istri dan selir. Tujuan memiliki banyak wanita adalah menghindari kejahatan seksual dan mencapai konsolidasi kekuasaan politik untuk mengesankan bahwa pemimpin itu lelaki luar biasa sakti mandraguna (super human). Periksa: G. Moedjanto, "Selir", Basis, Januari 1973; juga Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987). >
e.. Tentang konsep degradasi harkat martabat gender feminin, baca:
D. Jupriono, "Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki", FSU in the Limelight edisi nomor ini juga. >
f.. Lih. Ruth Indiah Rahayu, Opcit., hal. 29-42. Dalam artikelnya, dijelaskan bahwa perempuan dan gerakannya telah lahir jauh sebelum kemerdekaan RI. Aktivitas pergerakan perempuan terus berjalan hingga mencapai puncaknya pada 1965. Sejak itu berlakulah proses domestifikasi (pe-rumah-an) "perempuan" di segala bidang, menjadi "wanita". Tetapi, bersamaan dengan itu, bermunculan juga berbagai organisasi "keras" perempuan bergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). >
g.. Pelesetan itu demikian. "Surga ada di bawah kaki ibu", katanya, "berlaku bagi seorang anak". Bagi seorang ayah, lain lagi, yaitu "Surga itu ada di antara kedua kaki ibu"; "Ooo ... itu sih nerakanya. Setannya ya kita-kita ini. Ha ha ha ...". Bahwa itu hanya kelakar, itu jelas. Tetapi, di sisi lain, ini mungkin saja juga karena tidak tahu (menyadari) bahwa yang mereka pelesetkan adalah sabda Rasul.
Daftar Pustaka
Buchori, B. & I. Soenarto. 1996. ngenal Dharma Wanita. Hal. 172-193. Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia.
Hurford, J.R. 1984. Semantics: a Coursebook. Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Iskandar, T. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran.
Kweldju, S. 1983. Penelitian seksisme bahasa dalam kerangka penelitian stereotipi seks. Warta Studi Perempuan 4(1), 7-18.
Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Cet. III. Ende: Nusa Indah.
Nadjib, E.A. 1966. Ibu Qur'an, bukan Bapak Qur'an. Padang Mbulan, 2, April: 29-38.
Noerhadi, T. 1991. Studi Wanita di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Wanita 11--13 Juni 1991, di Wisma Kinasih, Bogor.
Palmer, F.R. 1986. Semantics. Edisi II, Cet. V. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahayu, R.I. 1996. Politik gender Orde Baru: tinjauan organisasi perempuan sejak 1980-an. Prisma 15(5), Mei: 29-42.
Richards, J., J. Platt, dan H. Weber. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Cet. II. Harlow: Longman Group UK Limited.
Slametmuljana. 1964. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suryochondro, S. 1996. Perkembangan gerakan wanita di Indonesia. Hal. 290-310. Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi I. Jakarta: Balai Pustaka dan Depdikbud.
Wojowasito, S. 1965. Linguistik: Sedjarah Ilmu (Perbandingan) Bahasa. Djakarta: Gunung Agung.
Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese--English Dictionary. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
________________
Sudarwati, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
D. Jupriono, lecturer at the Faculty of Letters, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Monday, November 20, 2006
Randomize!!!
Pict ini diambil waktu kita pada lagi membenahi tugu desa.. waaa malah banyak foto2 na!!! He2
Pict 1: Um2_Vy kren yagh style na kayak anak band gitu. He2 ternyata kita berhasi bro tuk jadi cool!
Pict 2: Neelam_Vy... waa ini luccu bgt! Siapa yg mau beli.. hub aja vy... wakaka
Pict 3: Ehmm Me!!! Tetep narziz dan tetap Endut!!! Hidup Endut!!!
Pict 1: Um2_Vy kren yagh style na kayak anak band gitu. He2 ternyata kita berhasi bro tuk jadi cool!
Pict 2: Neelam_Vy... waa ini luccu bgt! Siapa yg mau beli.. hub aja vy... wakaka
Pict 3: Ehmm Me!!! Tetep narziz dan tetap Endut!!! Hidup Endut!!!
Perempuan? Don't Cry Girl!!!?
Ada beberapa teman yang sempat bertanya pada vy, “Kenapa alamat blognya harus mutiaraperempuan? Kenapa gak mutiarawanita atau yang lainnya?” Dan ada juga beberapa teman yang “gemes” kenapa harus “Don’t Cry Girl!!!?”. Katanya terlalu pesimis.
Vy jawab yang pertama:
Vy menggunakan perempuan dalam mutiaraperempuan.blogspot.com, ya kenapa perempuan bukan wanita atau cewek. Pertama, dari padanan kata ehmm lebih enak didengar dan dibaca jika mutiaraperempuan ketimbang mutiarawanita atau mutiaracewek... he2. Do you agree with me right? Ok. Kita lanjut yang kedua penggunaan kata perempuan akhir-akhir ini, istilah “perempuan” lebih sering digunakan dibandingkan dengan istilah “wanita”. Terbukti dalam seminar-seminar dan bahkan penelitian-penelitian yang dilakukan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, istilah “perempuan” lebih banyak dipergunakan.
Istilah “wanita” berasal dari leksikon bahasa Sanksekerta, wanita, yaitu “yang diinginkan oleh kaum laki-laki”, sehingga lebih berkonotasi pasif. Dalam perkembangan bahasa Indonesia, Siusana Kwelja (1991) mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang ada menyebutkan bahwa wanita adalah pemelihara yang sabar, pasif, diam dan menjadi pesakitan, kurang standar, tidak diharap untuk menonjolkan diri dan boleh berprofesi, tetapi kurang diakui perannya. Sedangkan istilah “perempuan” menurut Prasetio Muniarti sengaja dipergunakan untuk istilah “women”, berasal dari akar bahasa Melayu yang berarti “empu” –induk, artinya “yang memberi hidup”. Istilah ini tampaknya lebih dinamis dan syarat makna dibanding dengan istilah “wanita” (Rachmat Syafa’at, 1998).
Istilah tersebut ada yang mengaitkan dengan upaya membangkitkan semangat kaum hawa dan mendekonstruksi praktik-praktik diskriminasi gender, yang dianggap merugikan perempuan. Dengan sebutan “perempuan” ini, ia diharapkan tidak sekedar bisa menikmati kehidupan ini, tetapi sekaligus dapat memberdayakan potensi-potensi dirinya yang berkaitan dengan kepentingan yang bersifat makro.
(^_^) Vy mau ngucapin makasih buat ommo (da best friend) yang udah tlah bersama-sama dengan vy mencetuskan nama mutiaraperempuan. Makasih babes...
Vy jawab yang kedua:
“Don’t Cry Girl!!!” kata ini dari bahasa Inggris “Jangan menangis perempuan!!!”. Vy tidak menganggap ketika Vy menulis kalimat ini hidup akan selalu penuh kepesimisan! Tidak!!! Bahkan ketika pertama terinspirasi untuk menjadikan kalimat ini sebagai “themes” dari segala perjalanan hidup, Vy yakin akan terus menatap hidup dengan keoptimisan. Dan dari kalimat ini Vy yakin Vy tetap terinspirasi untuk mencari spirit.
Dan itupun harapan Vy bahwa ketika anda semua membaca blog ini mudah-mudahan sama terispirasinya dengan Vy. Hope!!! Tapi ketika anda membaca beberapa artikel tentang bagaimana perjalanan hidup Vy, manusiawi kan jika ada tetap ada air mata? Yaa.. sangat wajar ketika seorang manusia seperti Vy tetap akan menangis... Dan akan kembali optimis memandang dan menjalani hidup saat melihat ini “Don’t Cry Girl!!!”
Vy jawab yang pertama:
Vy menggunakan perempuan dalam mutiaraperempuan.blogspot.com, ya kenapa perempuan bukan wanita atau cewek. Pertama, dari padanan kata ehmm lebih enak didengar dan dibaca jika mutiaraperempuan ketimbang mutiarawanita atau mutiaracewek... he2. Do you agree with me right? Ok. Kita lanjut yang kedua penggunaan kata perempuan akhir-akhir ini, istilah “perempuan” lebih sering digunakan dibandingkan dengan istilah “wanita”. Terbukti dalam seminar-seminar dan bahkan penelitian-penelitian yang dilakukan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, istilah “perempuan” lebih banyak dipergunakan.
Istilah “wanita” berasal dari leksikon bahasa Sanksekerta, wanita, yaitu “yang diinginkan oleh kaum laki-laki”, sehingga lebih berkonotasi pasif. Dalam perkembangan bahasa Indonesia, Siusana Kwelja (1991) mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang ada menyebutkan bahwa wanita adalah pemelihara yang sabar, pasif, diam dan menjadi pesakitan, kurang standar, tidak diharap untuk menonjolkan diri dan boleh berprofesi, tetapi kurang diakui perannya. Sedangkan istilah “perempuan” menurut Prasetio Muniarti sengaja dipergunakan untuk istilah “women”, berasal dari akar bahasa Melayu yang berarti “empu” –induk, artinya “yang memberi hidup”. Istilah ini tampaknya lebih dinamis dan syarat makna dibanding dengan istilah “wanita” (Rachmat Syafa’at, 1998).
Istilah tersebut ada yang mengaitkan dengan upaya membangkitkan semangat kaum hawa dan mendekonstruksi praktik-praktik diskriminasi gender, yang dianggap merugikan perempuan. Dengan sebutan “perempuan” ini, ia diharapkan tidak sekedar bisa menikmati kehidupan ini, tetapi sekaligus dapat memberdayakan potensi-potensi dirinya yang berkaitan dengan kepentingan yang bersifat makro.
(^_^) Vy mau ngucapin makasih buat ommo (da best friend) yang udah tlah bersama-sama dengan vy mencetuskan nama mutiaraperempuan. Makasih babes...
Vy jawab yang kedua:
“Don’t Cry Girl!!!” kata ini dari bahasa Inggris “Jangan menangis perempuan!!!”. Vy tidak menganggap ketika Vy menulis kalimat ini hidup akan selalu penuh kepesimisan! Tidak!!! Bahkan ketika pertama terinspirasi untuk menjadikan kalimat ini sebagai “themes” dari segala perjalanan hidup, Vy yakin akan terus menatap hidup dengan keoptimisan. Dan dari kalimat ini Vy yakin Vy tetap terinspirasi untuk mencari spirit.
Dan itupun harapan Vy bahwa ketika anda semua membaca blog ini mudah-mudahan sama terispirasinya dengan Vy. Hope!!! Tapi ketika anda membaca beberapa artikel tentang bagaimana perjalanan hidup Vy, manusiawi kan jika ada tetap ada air mata? Yaa.. sangat wajar ketika seorang manusia seperti Vy tetap akan menangis... Dan akan kembali optimis memandang dan menjalani hidup saat melihat ini “Don’t Cry Girl!!!”
Naluri Lelaki????
Ini yang selalu Vy bilang ma Emil, bahwa lelaki selalu memiliki nalurinya (Samsons banget!!!)
Lelaki akan mencari perempuan yang dia inginkan. Dan dimana "sebagian" lelaki mencari perempuan yang "ideal", maksud "ideal" Vy disini kriteria pertama adalah cantik, tinggi, putih, bahenol, tanpa jerawat, tanpa cacat, dan apalah kriteria perempuan cantik lainnya. Bukan kriteria kedua yang tidak cantik, pendek, hitam, tidak seksi, berjerwat, cacat dan apalah kriteria perempuan yang keluar dari titik identik seorang perempuan cantik...
Memang semua lelaki memiliki naluri yang sama untuk mencari perempuan... Tapi adakah sebagian lelaki itu yang masih mencari yang tidak cantik, pendek, hitam, tidak seksi, berjerwat, cacat dan apalah kriteria perempuan yang keluar dari titik identik seorang perempuan cantik... ???
Vy bisa bilang tidak!!! Tidak ada lelaki yang mencari seperti itu. Yang ada bahwa lelaki itu sudah terjebak bersama perempuan kriteria kedua dan harus memilihnya atau ketika lelaki itu sudah tak mempunyai pilihan lain selain kriteria kedua... Picik?? Ya memang!!!
Emil, tolong jangan marah ketika Vy mengatakan ini. Ok!!! Vy gak tau apakah masih ada lelaki yang mencari secara sengaja perempuan dengan kriteria kedua ini? Vy bisa jamin, bahwa jawabannya adalah tidak...
Sebagai contoh begini ketika ada dua orang yang berhubungan hanya lewat phone dan hanya sekedar melihat orang itu lewat pict nya... Vy yakin ketika dari situ timbul kemudian rasa sayang atau cinta, itulah adalah benar2 rasa sayang atau cinta. Bukankah sayang atau cinta itu bisa timbul kapan dan dimana saja... Tapi apakah bisa dijamin ketika mereka bertemu ternyata perempuan itu masuk kepada kriteria kedua lelaki itu tetap mempunyai rasa sayang dan cinta??
Ehmmm, Vy tidak yakin... Jika ada lelaki yang tetap sayang dan cinta walaupun keadaan seperti itu... Mungkinkah itu Kau???
Artikel ini terinspirasi dari percakapan dengan Andi Emil... Trimakasih atas segala masukan, kritikan, celaan dan tawanya y bro' !!!
Lelaki akan mencari perempuan yang dia inginkan. Dan dimana "sebagian" lelaki mencari perempuan yang "ideal", maksud "ideal" Vy disini kriteria pertama adalah cantik, tinggi, putih, bahenol, tanpa jerawat, tanpa cacat, dan apalah kriteria perempuan cantik lainnya. Bukan kriteria kedua yang tidak cantik, pendek, hitam, tidak seksi, berjerwat, cacat dan apalah kriteria perempuan yang keluar dari titik identik seorang perempuan cantik...
Memang semua lelaki memiliki naluri yang sama untuk mencari perempuan... Tapi adakah sebagian lelaki itu yang masih mencari yang tidak cantik, pendek, hitam, tidak seksi, berjerwat, cacat dan apalah kriteria perempuan yang keluar dari titik identik seorang perempuan cantik... ???
Vy bisa bilang tidak!!! Tidak ada lelaki yang mencari seperti itu. Yang ada bahwa lelaki itu sudah terjebak bersama perempuan kriteria kedua dan harus memilihnya atau ketika lelaki itu sudah tak mempunyai pilihan lain selain kriteria kedua... Picik?? Ya memang!!!
Emil, tolong jangan marah ketika Vy mengatakan ini. Ok!!! Vy gak tau apakah masih ada lelaki yang mencari secara sengaja perempuan dengan kriteria kedua ini? Vy bisa jamin, bahwa jawabannya adalah tidak...
Sebagai contoh begini ketika ada dua orang yang berhubungan hanya lewat phone dan hanya sekedar melihat orang itu lewat pict nya... Vy yakin ketika dari situ timbul kemudian rasa sayang atau cinta, itulah adalah benar2 rasa sayang atau cinta. Bukankah sayang atau cinta itu bisa timbul kapan dan dimana saja... Tapi apakah bisa dijamin ketika mereka bertemu ternyata perempuan itu masuk kepada kriteria kedua lelaki itu tetap mempunyai rasa sayang dan cinta??
Ehmmm, Vy tidak yakin... Jika ada lelaki yang tetap sayang dan cinta walaupun keadaan seperti itu... Mungkinkah itu Kau???
Artikel ini terinspirasi dari percakapan dengan Andi Emil... Trimakasih atas segala masukan, kritikan, celaan dan tawanya y bro' !!!
Bye... TunikamaJayuzzz !!!!
KKN Then Finish !!!
Waaaa.. Makassar im back!!!
Setelah kurang lebih 2 bulan Vy KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Kabupaten Maros, Kecamatan Bontoa, Desa Tunikamaseang, Dusun Kassijala, Posko Tunikama_Jayuz bimbingan H. Husain Sikki (waaa lengkapna... hi2) yup Vy balik ke Makassar....
Senang banget, akhirna finished tapi sedih juga... hikhik ehmm bakal ninggalin semuanya dan jadi "Kenangan Terindah". Sedihna karena bakal pisahan ma temen2 posko, ma haji husain dan haji marwa (ehmm (T_T), ma warga nyang tiap hari keganggu karena kita ributna minta ampun...
Ma pagi yang selalu diisi dengan perdebatan siapa yang harus mandi duluan.. ha2 Siang yang diisi dengan "Brainstorming (tidur siang)" bareng. Malam yang diisi dengan tawa cekikikan.. ha2 rebutan tuk pada latihan tangan (main game?? he2) waaa Bakal kangen kaleee....
Ehmm 2 hari terakhir di Tunikamaseang... Pagi2 dagh bagi job.. Acha sebagai Kordes dan Adhi sebagai Sekdes kebagian belanja ke pasar tuk persiapan malam ramah tamah (he2.. ndak kerenna degh Kordes). Vy, Arie, Umar, Mace, Mujh ma Nilam pergi ke Play group yang ada di desa tuk jalanin program kerja (dengan kaki... he2 bagus kalee tuk Vy supaya kurusan dikit he2). Ke playgroup berbekal permen tuk di bagiin dan juga buat kita2 yang bawa :p
Pulang kerumah siap2in semua bahan untuk acara ramah tamah... Ooo ya, untuk makanannya tuh Ubi Goreng, Sarabba' (Ehmm enakk). Sarabba adalah minuman khas makassar yang terbuat dari santan, jahe, and etc. Dan sedikit makanan kecil lainnya, ada empek2 ma puding...
Niat acaranya sih hanya sederhana, cuma sekedar makan2 dan ngobrol2 sama warga.. Ternyata Haji Husain bilang ke vy "Le'ba mi ku kuta'nang ngang ko elekton evy ri balla ri bokoang, nia injo sinampe battu ribanggi a" waaa Haji bahasa utumbaba :p Untung aja Vy yang kelahiran Jayapura ini telah berguru ma Abah dan Ummi belajar bahasa makassar jadi ngerti. Artinya: "Saya sudah tanyakan elekton di rumah belakang evy, nanti datang kalau malam". Ehmm vy langsung kegirangan, senangnya !!! Baeknya Haji degh....
*Elekton: satu set alat musik serta soun system
Malam tlah tiba... Warga berdatangan, teman-teman posko lain juga. Rame banget... Senang.. Karena niat hanya sederhana tapi berkat Haji semuanya menjadi lebih baik. Acara dimulai dari kata sambutan Aparat desa, Kordes, dan Haji Husain... Terharu... ampe ada acara nangis-nangis... Dan acara puncaknya kita "Dangdutan" :p he2. Mau gak mau, suka nggak suka semuanya harus turun joged dangdut.. waaaa Vy juga.. malu sih tapi apalah ini yang terakhir kita di desa Tunikamaseang...
Acaranya selesai sekitar jam 1 malam... Kita masih ngobrol ma Haji sampe setengah tiga... Ampun degh malam itu Vy lowbatt banget... Then bareng ma teman2 tidur di teras rumah sambil ngeliat bintang... ehmm malam terakhir yang manis y... (^_^)
Pagi.... Panikk.... Ngurusin barang2. Semua pusing dengan barangnya masing-masing. Ehmm Untungnya barang-barang ini ada yang tampung its "Umar's Car" ha2. Komputer, Printer, Tv, Kopor2 waaaaaa banyak !!!
Then Bye Tunikamaseang
Waaaa.. Makassar im back!!!
Setelah kurang lebih 2 bulan Vy KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Kabupaten Maros, Kecamatan Bontoa, Desa Tunikamaseang, Dusun Kassijala, Posko Tunikama_Jayuz bimbingan H. Husain Sikki (waaa lengkapna... hi2) yup Vy balik ke Makassar....
Senang banget, akhirna finished tapi sedih juga... hikhik ehmm bakal ninggalin semuanya dan jadi "Kenangan Terindah". Sedihna karena bakal pisahan ma temen2 posko, ma haji husain dan haji marwa (ehmm (T_T), ma warga nyang tiap hari keganggu karena kita ributna minta ampun...
Ma pagi yang selalu diisi dengan perdebatan siapa yang harus mandi duluan.. ha2 Siang yang diisi dengan "Brainstorming (tidur siang)" bareng. Malam yang diisi dengan tawa cekikikan.. ha2 rebutan tuk pada latihan tangan (main game?? he2) waaa Bakal kangen kaleee....
Ehmm 2 hari terakhir di Tunikamaseang... Pagi2 dagh bagi job.. Acha sebagai Kordes dan Adhi sebagai Sekdes kebagian belanja ke pasar tuk persiapan malam ramah tamah (he2.. ndak kerenna degh Kordes). Vy, Arie, Umar, Mace, Mujh ma Nilam pergi ke Play group yang ada di desa tuk jalanin program kerja (dengan kaki... he2 bagus kalee tuk Vy supaya kurusan dikit he2). Ke playgroup berbekal permen tuk di bagiin dan juga buat kita2 yang bawa :p
Pulang kerumah siap2in semua bahan untuk acara ramah tamah... Ooo ya, untuk makanannya tuh Ubi Goreng, Sarabba' (Ehmm enakk). Sarabba adalah minuman khas makassar yang terbuat dari santan, jahe, and etc. Dan sedikit makanan kecil lainnya, ada empek2 ma puding...
Niat acaranya sih hanya sederhana, cuma sekedar makan2 dan ngobrol2 sama warga.. Ternyata Haji Husain bilang ke vy "Le'ba mi ku kuta'nang ngang ko elekton evy ri balla ri bokoang, nia injo sinampe battu ribanggi a" waaa Haji bahasa utumbaba :p Untung aja Vy yang kelahiran Jayapura ini telah berguru ma Abah dan Ummi belajar bahasa makassar jadi ngerti. Artinya: "Saya sudah tanyakan elekton di rumah belakang evy, nanti datang kalau malam". Ehmm vy langsung kegirangan, senangnya !!! Baeknya Haji degh....
*Elekton: satu set alat musik serta soun system
Malam tlah tiba... Warga berdatangan, teman-teman posko lain juga. Rame banget... Senang.. Karena niat hanya sederhana tapi berkat Haji semuanya menjadi lebih baik. Acara dimulai dari kata sambutan Aparat desa, Kordes, dan Haji Husain... Terharu... ampe ada acara nangis-nangis... Dan acara puncaknya kita "Dangdutan" :p he2. Mau gak mau, suka nggak suka semuanya harus turun joged dangdut.. waaaa Vy juga.. malu sih tapi apalah ini yang terakhir kita di desa Tunikamaseang...
Acaranya selesai sekitar jam 1 malam... Kita masih ngobrol ma Haji sampe setengah tiga... Ampun degh malam itu Vy lowbatt banget... Then bareng ma teman2 tidur di teras rumah sambil ngeliat bintang... ehmm malam terakhir yang manis y... (^_^)
Pagi.... Panikk.... Ngurusin barang2. Semua pusing dengan barangnya masing-masing. Ehmm Untungnya barang-barang ini ada yang tampung its "Umar's Car" ha2. Komputer, Printer, Tv, Kopor2 waaaaaa banyak !!!
Then Bye Tunikamaseang
Tuesday, November 14, 2006
Cint-Lock...?
Awal pembekalan KKN, secara implisit telah dikisahkan, kadashyatan KKN merangkum hati dua orang manusia yang berlawanan jenis untuk menjadi ‘penghuni’ jiwa-jiwa yang haus akan kasih sayang. Pertanyaan selanjutnya, haruskah dalam setiap situasi muncul “virus merah jambu” itu?
Mungkin ini adalah sebuah pertanyaan konyol, karena itu muncul secara alamiah dan kadang orang yang terkena virus ini tidak sadar, tak dapat mneyembunyikannya dari yang lain. Betapa pun tidak, selama dua bulan bersama, gejolak itu kadang tak biasa ditahan. Yah, saya pikir itu Normally
Ketika niat kita sejak awal, bukan untuk mengabdi untuk masyarakat, mengaplikasikan ilmu serta keahlian kita. Maka, Cint-Lock itu akan muncul, karena sejak awal tujuan kita hanya untuk mendapatkan “efek samping” dari KKN. Saya pikir, dua bulan bersama bukanlah suatu pembelaan untuk menerima Cint-Lock. Secara rasio, ini bisa saja dicegah dengan selalu kembali mengingat tujuan kita ada disini.
Saya pun menyebut yang orang katakan “Cinta Lokasi” dengan singkatan Cint-Lock, dimana Cint merupakan singkatan dari cinta dan Lock merupakan istilah dalam bahasa inggris yang berarti kunci atau lebih jauh diartikan mengunci.
Pikirku, hadirnya cinta dalam misi yang kusebut misi yang suci, dapat mengunci kita dari berpikir rasio. Hal yang selalu berulang adalah ’SI-DIA’, pikiran yang seharusnya diperuntukan untuk memikirkan program kerja untuk ’tumbuh’ bersama masyarakat. Telah DIKOTORI oleh, khayalan-khayalan yang tak bertepi, senantiasa terombang-ambing dalam pergulatan hebat, ”he/she loves me or he/she loves me not”. Kebersamaan yang timbul untuk kemajuan kita dan masyarakat ternodai olehnya.
Buih-buih cinta yang muncul dalam riak-riak ombak, akan semakin besar dan bertambah banyak bila diterpa oleh angin yang berhembus kencang, yang memicu besarnya rasa itu. Tapi sekali lagi kembali ke tujuan awal kedetangan kita, “dunia tak akan berhenti tanpamu”
Artikel: Ade Yamindago (adey_wp@yahoo.com)
Editor: Evy Risyani
"Dago seorang sahabat yang selalu datang dan pergi... maksudna?"
Tau gak pas ngeliat judul artikel yang dikasih ma dago’, langsung vy senyum2 sendiri... Means???? Allah... tau aa gelap...
Ehmmm Cint-lock, walahhh emang gak bisa lepas dari image KKN. Wajar, Lumrah dan Manusiawi kok go’... Denger2 juga kamu punya tuh di lokasi... wakaka...
Ok, Cint-lock menurut vy boleh aja go’, asal tepat di tempatnya. Maksudnya gini... ehm..........
? Ketika kita jatuh cinta sama temen KKN wajib we are single each other.. Penting !!! Bukankah perjalanan cinta harus dilandasi dengan komitmen untuk sama-sama berjalan pada jalur setia? Dan tidak untuk menyakiti hati seseorang yang lain.... Tapi ketika ada yang ingin mengambil resiko.. wahh itu beda lagi ceritanya.. dan lumrah kok. Perasaan cinta tak ada larangannya..
? Cinta boleh2 saja, gimana gak jatuh cinta ketika selama 2 bulan kebersamaan itu selalu ada.... kasarnya gini ampe warna cd nya ditau... he2. Pada saat mau tidur dan bangun tidur eh ketemu juga khan... Gimana enggak? Ini untuk yang tinggal se posko lho. Yang lain posko ya sama aja, setiap ada rapat koordinasi ato semacamnya khan ketemu juga.. Wallahu Alam ketika dari pembekalan di kampus emang ada niat untuk nyari Cint-lock... weleh2 itu lain lagi kasusnya... Kita gak pernah tau kapan cinta itu dateng.. khusus tuk yang Single loh not for yang udah ada partnernya!!!!
? Dan yang penting, jangan sampe cinta itu sangat memabukkan, ampe2 program yang bakal dijalanin di posko terbengkalai gara2 kangen gak tertahan... ha2. Malah setiap hari 3 kali sehari (kayak minum obat aja) berkunjung ke posko yang tercinta (kalo beda posko) Gak usah ada yang tersinggung yee... (^_^)
Yup wajar-wajar aja ketika semua berada diposisi yang tepat dengan kadar yang tepat juga... Dan pesan Vy, khusus untuk point no 1 ehmm masalah ini sensitif banget nih ma Vy... Jujur dan Setia pada pasangan apapun alasannya, dan kalupun ada Cint-lock baiknya kita bisa menempatkan diri pada orang yang akan dan telah dikhianati.... Walapun banyak alasan dari temen2 yang udah kena virus ini tuh : “Khan ini Cuma sementara aja”.
Tolong jangan pernah berfikir seperti itu!!! Tetaplah istiqomah pada komitmen!!!
Mungkin ini adalah sebuah pertanyaan konyol, karena itu muncul secara alamiah dan kadang orang yang terkena virus ini tidak sadar, tak dapat mneyembunyikannya dari yang lain. Betapa pun tidak, selama dua bulan bersama, gejolak itu kadang tak biasa ditahan. Yah, saya pikir itu Normally
Ketika niat kita sejak awal, bukan untuk mengabdi untuk masyarakat, mengaplikasikan ilmu serta keahlian kita. Maka, Cint-Lock itu akan muncul, karena sejak awal tujuan kita hanya untuk mendapatkan “efek samping” dari KKN. Saya pikir, dua bulan bersama bukanlah suatu pembelaan untuk menerima Cint-Lock. Secara rasio, ini bisa saja dicegah dengan selalu kembali mengingat tujuan kita ada disini.
Saya pun menyebut yang orang katakan “Cinta Lokasi” dengan singkatan Cint-Lock, dimana Cint merupakan singkatan dari cinta dan Lock merupakan istilah dalam bahasa inggris yang berarti kunci atau lebih jauh diartikan mengunci.
Pikirku, hadirnya cinta dalam misi yang kusebut misi yang suci, dapat mengunci kita dari berpikir rasio. Hal yang selalu berulang adalah ’SI-DIA’, pikiran yang seharusnya diperuntukan untuk memikirkan program kerja untuk ’tumbuh’ bersama masyarakat. Telah DIKOTORI oleh, khayalan-khayalan yang tak bertepi, senantiasa terombang-ambing dalam pergulatan hebat, ”he/she loves me or he/she loves me not”. Kebersamaan yang timbul untuk kemajuan kita dan masyarakat ternodai olehnya.
Buih-buih cinta yang muncul dalam riak-riak ombak, akan semakin besar dan bertambah banyak bila diterpa oleh angin yang berhembus kencang, yang memicu besarnya rasa itu. Tapi sekali lagi kembali ke tujuan awal kedetangan kita, “dunia tak akan berhenti tanpamu”
Artikel: Ade Yamindago (adey_wp@yahoo.com)
Editor: Evy Risyani
"Dago seorang sahabat yang selalu datang dan pergi... maksudna?"
****************************************
Vy say:
Vy say:
Tau gak pas ngeliat judul artikel yang dikasih ma dago’, langsung vy senyum2 sendiri... Means???? Allah... tau aa gelap...
Ehmmm Cint-lock, walahhh emang gak bisa lepas dari image KKN. Wajar, Lumrah dan Manusiawi kok go’... Denger2 juga kamu punya tuh di lokasi... wakaka...
Ok, Cint-lock menurut vy boleh aja go’, asal tepat di tempatnya. Maksudnya gini... ehm..........
? Ketika kita jatuh cinta sama temen KKN wajib we are single each other.. Penting !!! Bukankah perjalanan cinta harus dilandasi dengan komitmen untuk sama-sama berjalan pada jalur setia? Dan tidak untuk menyakiti hati seseorang yang lain.... Tapi ketika ada yang ingin mengambil resiko.. wahh itu beda lagi ceritanya.. dan lumrah kok. Perasaan cinta tak ada larangannya..
? Cinta boleh2 saja, gimana gak jatuh cinta ketika selama 2 bulan kebersamaan itu selalu ada.... kasarnya gini ampe warna cd nya ditau... he2. Pada saat mau tidur dan bangun tidur eh ketemu juga khan... Gimana enggak? Ini untuk yang tinggal se posko lho. Yang lain posko ya sama aja, setiap ada rapat koordinasi ato semacamnya khan ketemu juga.. Wallahu Alam ketika dari pembekalan di kampus emang ada niat untuk nyari Cint-lock... weleh2 itu lain lagi kasusnya... Kita gak pernah tau kapan cinta itu dateng.. khusus tuk yang Single loh not for yang udah ada partnernya!!!!
? Dan yang penting, jangan sampe cinta itu sangat memabukkan, ampe2 program yang bakal dijalanin di posko terbengkalai gara2 kangen gak tertahan... ha2. Malah setiap hari 3 kali sehari (kayak minum obat aja) berkunjung ke posko yang tercinta (kalo beda posko) Gak usah ada yang tersinggung yee... (^_^)
Yup wajar-wajar aja ketika semua berada diposisi yang tepat dengan kadar yang tepat juga... Dan pesan Vy, khusus untuk point no 1 ehmm masalah ini sensitif banget nih ma Vy... Jujur dan Setia pada pasangan apapun alasannya, dan kalupun ada Cint-lock baiknya kita bisa menempatkan diri pada orang yang akan dan telah dikhianati.... Walapun banyak alasan dari temen2 yang udah kena virus ini tuh : “Khan ini Cuma sementara aja”.
Tolong jangan pernah berfikir seperti itu!!! Tetaplah istiqomah pada komitmen!!!
Monday, November 06, 2006
At Minasa Upa Village
Anak2 seposko pada jalan2 ke Posko tetangga: Minasa Upa. Then tetep narsis kaleeee...
Liat aja
Pict 1:
Pict 2:
Pict 3:
Pict 4:
Liat aja
Pict 1:
Pict 2:
Pict 3:
Pict 4:
Thursday, November 02, 2006
"Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual"Advokasi atas Hak Asasi Perempuan
Oleh
Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A., seorang Magister dalam bidang Hukum Islam, dosen serta Sekretasris Direktur Program Ekstensi Fakultas Hukum UNISMA, Malang.
Drs. Muhammad Irfan, S.H., M.Pd., dosen dan SekretarisDirektur Program Pascasarjana UNISMA Malang, serta Direktur BIRNUA Departemen Agama RI.
Drs. Abdul Wahid, S.H., M.A., seorang Magister dalam bidang Hukum Islam, dosen serta Sekretasris Direktur Program Ekstensi Fakultas Hukum UNISMA, Malang.
Drs. Muhammad Irfan, S.H., M.Pd., dosen dan SekretarisDirektur Program Pascasarjana UNISMA Malang, serta Direktur BIRNUA Departemen Agama RI.
Kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual merupakan fenomena pahit yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa namun juga menimpa anak-anak perempuan di bawah umur. Bila diamati secara umum dari berbagai media, kecenderungannya adalah perempuan dewasa dan anak –sedang menjadi objek pengebirian dan pelecehan hak-haknya. Perempuan berada pada posisi tidak berdaya mengahadapi kebiadaban individual, kultural dan struktural yang dibenarkan. Nilai-nilai kesusilaan yang seharusnya dijaga kesuciannya dikoyak dan dinodai oleh naluri kebinatangan yang adidaya.
Berbagai modus kejahatan seksual terhadap perempuan tidak akan putus apabila digambarkan secara grafik, efek jera yang diharapkan dari hukuman atas pelakunya belum kunjung nampak. Namun demikian, dengan diangkatnya tema perlindungan atas korban kekerasan seksual dalam buku ini, diharapkan bisa membukakan benak, pikiran dan mata kita untuk bersama-sama terlibat menyisihkan eksistensi fenomena sosial ini dari tatanan kultural kita.
***********************************
Pas vy pulang ke makassar dari lokasi KKN, di rumah deket komputer ada buku yang menarik menurut vy, dari sampul apalagi judulnya ”Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Advokasi atas Hak Asasi Perempuan”....
Yup pasti bukunya Abah.. (Baru dibeli kayaknya....) untuk bahan tesis yang sedang disusun, menarik dan dan langsung pengen ngasih referensinya di blog.
Buku ini membahas Bagaimana perkosaan dapat menjadi sebuah Perdagangan seks, yang tentu merupakan suatau kekerasan seksual yang sangat biadab, merupakan suatu pelecehan hak asasi terhadap kami perempuan. Dan yang lebih menarik di buku ini yaitu bagaimana perbandingan antara Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Islam Mengenai Advokasi Terhadap Korban Kekerasan......
Tolong hargai kami sebagai kaum perempuan yang harus dihargai dan ditempatkan ditempat yang baik bukan untuk di injak-injak, diludahi, di caci, dan obok-obok kelamin kami!!!!
Bukankah Nabi Muhammad SAW, pernah menyampaikan peringatan ”aku wasiatkan kepada kalian agar berlaku baik kepada perempuan”. Wasiat ini jelas sebagai suatu kewajiban untuk memperlakukan perempuan menjadi subjek sejarah yang harus dihormati, seperti dijauhkan dan diselamatkan dari praktik-praktik kekejian dan kezaliman yang menodai hak-hak asasinya.
Buku ini cukup tepat menerjemahakan sebagian serpihan luka hati perempuan yang tersayat cukup parah dan tragis akibat hak-hak asasinya yang dilanggar dan diinjak-injak oleh kaum lelaki.
Subscribe to:
Posts (Atom)